Kamis, 10 September 2020

MENUJU PUNCAK LAWU: PERJUANGAN, UJIAN DAN MISTIS

[ JJB Ke #36 ]



“Mas... Pendaftarannya sudah tutup!” teriak seorang parkir yang mengagetkan kami berempat sore itu.

“Waduh... Piye bro iki?” (waduh... bagaimana bro ini) tanya saya kepada teman-teman saya dengan raut muka yang disertai kekecewaan.

Belum juga menaruh tas carrier yang membebani pundak kami saat perjalanan Surabaya-Cemoro Sewu, Magetan dengan kuda besi. Kami langsung diterpa dengan kabar buruk tentang tutupnya pendaftaran pendakian. Aku kira Lawu sedang ditutup jalur pendakiannya sebab ada kejadian meninggalnya seorang survivor dua Minggu sebelumnya. Ternyata, usut punya usut jam pendaftarannya saja yang sudah tutup. Pendaftaran baru ditutup 30 menit sebelumnya, sedangkan kami datang pukul 15:30 sore.

Syahdan, kami berembuk dan memutuskan untuk numpang tidur di basecamp cemoro sewu saja. Kendati menurut info tukang parkir di sana banyak villa yang di sewakan, tapi lebih baik kami tidur menggembel saja di basecamp untuk menghemat. Toh, tujuan awal kami mendaki bukan untuk tidur di Villa tapi tidur di tenda.

Buru-buru kami bergegas ke basecamp dan menyalami beberapa penjaga basecamp dan pendaki lain yang bernasib sama dengan kami. Mereka terlihat sedang duduk-duduk di teras basecamp. Setelah basa-basi memperkenal diri kami pun diminta menaruh tas di dalam basecamp. Kemudian teman-teman saya merebahkan diri di kasur yang tergelar di ruang tamu tersebut, sementara saya sendiri yang terbiasa bersosialisasi dengan orang lain memilih untuk ikut jagongan mas-mas penjaga basecamp di teras. Padahal aslinya dulu saya orangnya pendiam, cuma karena tuntutan pekerjaan dan organisasi saya akhirnya mulai terbiasa untuk speek up dan jadilah sedikit extrovet.

Tapi namanya juga sudah menjadi karakter, sebaik apapun kita menyembunyikannya sifat asli pendiam saya selalu saja diketahui oleh orang lain. He.

Selepas itu saya mengajak teman-teman saya untuk sholat di mushola bawah jalan raya sembari berjalan kaki. Ketika hendak berwudhu Brrrrr.... rasanya sumpah adem banget airnya, pikir saya. Sehabis sholat kami putuskan untuk mencari warung untuk sekedar mengisi perut yang mulai keroncongan. Sate kelincipun saya pesan karena penasaran dengan rasanya. “Gak kasihan ta mas sama kelincinya?” tanya si Fifi. “Lah.. kenapa emang?,” tanya saya. “Ya kasihan aja, kelinci kan lucu masak sampean tega memakannya”. “hehe.. iya sih. Penasaran aja,” jawab saya sekenanya yang tak sabar untuk segera menyantapnya.  Saya adalah tipikal orang yang tidak bisa diajak diskusi ketika perut sedang kosong. Maka jangan heran, saat saya diam aja itu berarti saya sedang laper. Solusinya, ya kasih aja makanan biar ngoceh terus. He

“Mas, sudah dapat tempat tidur?” sapa penjaga basecamp yang baru ku kenal dengan nama Zainuddin.

“Belum mas din..”

“Buruan aja booking tempat tidurnya, kasih tanda matras atau sleeping bag. Mumpung masih sore masih sepi.” Terangnya. Kamipun mengangguk tanda menyetujuinya. Kemudian si Ardi dan Fifi masuk ke dalam untuk mencari sekaligus booking tempat tidur untuk malamnya. “Oh... ternyata caranya dapatin tempat tidur di basecamp seperti itu” gumam saya. Memang semenjak saya mulai jatuh cinta dengan dunia pendakian, baru kali ini merasakan tidur di basecamp jalur pendakian. Ini merupakan pengalaman sekaligus pelajaran baru.

Malam harinya, setelah mendapat info dari penjaga basecamp bahwa kira-kira 200 M dari basecamp sudah sampai di perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah. Fifi, gadis berperawakan kecil yang bermental baja ini mengajak saya, Anggi dan Ardi ke perbatasan. Aku baru kenal Fifi kurang lebih tiga minggu sebelum keberangkatan. Di mataku dia adalah wonder woman-nya arek Sidoarjo. Latar belakang keluarga yang dia ceritakan, telah menjadikannya seorang gadis yang tangguh. Diusianya yang masih menginjak usia quarter life crisis dia sudah punya usaha counter hp sendiri.

Kamipun berjalan kaki menuju perbatasan sembari beradaptasi dengan hawa dingin Cemoro Sewu yang kala itu sekitar 8°C. Itu masih di kaki gunungnya, bagaimana nanti kalau sudah di puncak? Pikir kami. Sehabis membuat video seru-seruan, kami ngopi lagi untuk menghangatkan badan dengan segelas jahe. Setelahnya kami kembali lagi ke basecamp. Sebelum beranjak tidur ada hal yang mengejutkan teman saya Anggi. Lebih tepatnya memalukan. Kala kami berempat sedang nongkrong dengan para penjaga basecamp sambil bermain gitar untuk memecah keheningan malam. Anggi tiba-tiba tanpa disengaja minum alcohol milik si penjaga  basecamp yang diwadahi aqua botol. Dia kira itu air minum dan tanpa permisi langsung ditegugnya. Setelah itu buru-buru dia ke belakang untuk memuntahkannya.

“Rasanya segar mas?” tanya penjaga basecamp.

“Iya mas,” jawab Anggi sambil nyengir.

Dasar Anggi, begitulah akibatnya jika minum tidak tanya dan permisi dulu ke yang punya. Hehe.

Keesokan harinya, kami dibangunkan oleh suara ibu-ibu yang menjajakan nasi bungkus dan gorengannya ke basecamp. Padahal waktu itu kami masih enak-enaknya tidur. Waktu masih menunjukkan pukul 4 pagi, sementara ibu-ibu itu sudah dengan enaknya membangunkan mimpi indah kami. Ah, tidak apa-apa. Justru karena suara nyaring ibu-ibu itu kami bisa terbangunkan untuk menunaikan kewajiban sholat shubuh. Benar kata Al-qur’an, tak ada yang sia-sia segala sesuatu itu diciptakan.

Sehabis sholat shubuh Fifi menawari saya, Ardi dan Anggi untuk membeli nasi bungkus ibu tadi. Mungkin karena kami kasihan dengan jerih payah ibu itu dan disertai dengan perut yang mulai keroncongan sebab hawa dingin pegunungan. Kamipun membeli nasi bungkus ke Ibu itu dan sarapan bersama di dalam basecamp.

Setelah kami berkemas untuk melakukan pendakian, saya kemudian pergi ke pos jaga masuk jalur pendakian untuk melakukan pedaftaran dan membayar SIMAKSI. Ternyata banyak teman-teman saya yang belum tahu juga tentang SIMAKSI. “Apa itu SIMAKSI?” begitu tanyanya. SIMAKSI bukan, SI EMAK SEKSI, bukan. SIMAKSI atau Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi merupakan dokumen bukti legalitas orang untuk melakukan aktivitas tertentu dalam kawasan konservasi. Misalnya untuk melakukan pendakian.

“Sebelum melakukan pendakian, mari kita berdoa kepada Allah SWT. Agar diberi kelancaran dan kesehatan selama diperjalanan ke puncak Lawu. Semoga kita berangkat dengan selamat, pulangpun dengan selamat. Berdoa... dipersilahkan!” ucap saya memimpin doa. Berharap kepada sang Maha kuasa agar diberi keselamatan selama perjalanan mendaki.

Kamipun akhirnya berangkat melakukan pendakian dengan riang gembira dan semangat membara untuk mencapai puncak Lawu. Ku tengok jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 8:30 pagi. Belum genap berjalan 10 menit, Fifi sudah mengajak istirahat. Setelah beberapa saat berjalan lagi, lagi-lagi Fifi berhenti dan kulihat nafasnya yang ngos-ngosan.

“Jangan bilang ah..ah.. gitu fi,” Ardi mengajak bercanda. 

“Lho enggak Di.. wong lagi capek kok,” timpalnya.

“Atur nafasnya yang baik Fi, belajar pernafasan. Biar nggak kayak orang lagi panik gitu. Sini aku ajarin cara ngatur nafas” ucap saya, disertai dengan latihan nafas agar tidak mudah ngos-ngosan selama berjalan.

Sedari awal saya dan Ardi sudah memperkirakan. Fifi pasti akan sedikit kepayahan saat naik. Terlebih selain dia cewek sendiri dalam rombongan kami, Fifi juga tampak tak begitu memedulikan persiapan saat pendakian. Pelatihan fisik seperti berlari enggan melakukannya, memakai sepatu casual dan hanya memakai jaket biasa. Padahal bagi pemula, persiapan itu mutlak dipersiapkan matang-matang. Tapi karena dia bersikukuh untuk ikut mendaki, kamipun membolehkannya ikut.

Selama perjalan ke Pos satu, kami isi dengan bercanda ria, dengan membuat video nyanyi-nyanyi untuk menghibur diri selama perjalanan. Di pos satu kami langsung menuju shelter untuk rehat sejenak. Di sebelah jalan terdapat warung yang menjajakan gorengan dan nasi kepada pendaki. Baru kali ini saya melakukan pendakian dan menemukan warung di jalur pendakian. Memang lawu adalah salah satu gunung yang banyak warungnya. Bahkan sampai puncaknya yaitu di hargo dalem ada warung yang sangat fenomenal di kalangan pendaki. Warung ini bernama warung “Mbok Yem”. Menurut kabar yang beredar di internet, warung mbok yem ini adalah satu warung tertinggi se-Indonesia. Wow.. Amazing men...!!

Setelah memesan gorengan dan istirahat sejenak, kamipun kembali melanjutkan perjalan ke pos 2. Jarak Pos 1 ke Pos 2 ini bisa dibilang luamayan panjang. Kira-kira menghabiskan waktu sekitar 1,5 jam. Selama perjalan kami menemukan keramahan para pendaki yang saling bertegur sapa sepanjang jalur pendakian walaupun kami tak saling mengenal. Kurasa hal seperti ini sangat jarang ku temukan di kota. Beberapa waktu kemudian, saya iseng minta foto dengan seorang gadis manis asal jawabarat. Anehnya atribut pendakian yang saya bawa dengan gadis itupun banyak kesamaan. Baik itu baju flanel warna merah yang saya pakai, sepatu dan trekking pole juga sama.

“Cie-cie, samaan. Jangan-jangan jodoh nih,” ledek Fifi yang sedari tadi menertawakanku saat meminta foto dengan gadis tersebut. Kamipun lantas berswafoto bersama untuk mengabadikan momen. Bagi saya foto dalam sebuah petualangan itu penting. Sebab seorang kawan Mapala (mahasiswa pecinta alam) pernah menasehati, “jangan tinggalkan apapun di gunung kecuali jejak, jangan ambil apapun di gunung kecuali gambar”. Kendati, pamer foto bukanlah tujuan utama dalam pendakian. Berfotolah seperlunya dan selebihnya nikmatilah lukisan Tuhan yang terabadikan dalam bentuk keindahan alam semesta ini.

Tidak lama setelah itu, kami berjalan kembali menuju pos 2. Dan tiba-tiba Anggi berjalan dulu ke atas. Setelah kami mengikutinya diapun berhenti untuk beristirahat di sebuah batu yang disebut-sebut sebagai watu jago. Melihat dia berhenti sayapun ikut berhenti dan tiduran dibawah pohon cemara yang begitu sejuk. Setelah kami ingin melanjutkan perjalan, kami dikagetkan dengan hilangnya Anggi. Dan setelah itu keganjilanpun dimulai. Saya mencoba menengok ke bawah batu yang lumayan jurang. Tidak ada, saya mencoba berpikir positif dan meyakinkan rombongan bahwa Anggi kemungkina besar sudah naik ke Pos 2. Ardi mencoba memanggil-manggil Anggi dengan suara keras. “Nggik!!” teriaknya. Tak ada jawaban, yang ada hanya hening. Fifi mulai panik, bahkan sampai ingin balik ke basecamp untuk melaporkan Anggi.

Sebagai leader aku mencoba untuk menangkan suasana. Meyakinkan mereka bahwa Anggi pasti berhenti dan menunggu di pos 2. Sesampai di pos 2 kami tak mendapati si Anggi. Sebenernya dalam hati saya disitu juga mulai panik, walaupun saya mencoba untuk terlihat biasa-biasa saja. Beberapa pendaki saya tanyai tentang apakah bertemu dengan Anggi sembari menyebutkan foto dan ciri-cirinya. Bahkan saya dan Fifi juga menanyai Ita, gadis manis yang kami ajak foto sebelumnya. Sebab kami lebih dulu berangkat daripada dia. Diapun menjawab tidak tahu. Hampir satu jam kami berlalu lalang di pos dua, untuk memastikan keberadaan kawang saya, Anggi. Setelah berdiskusi, kami memutuskan untuk melanjutkan ke pos 3. Saya lagi-lagi mencoba berpikir positif dan meyakinkan rombongan. Bahwa Anggi baik-baik saja.

Selama perjalanan Fifi tak henti-hentinya mengumpat Anggi, “Oh, awas arek iki lek ketemu!” (Oh awas kalau ketemu anaknya!) ancamnya dengan muka cemberut. Berkali-kali saya dan Fifi mencoba menghubunginya lewat SMS dan telpon yang terkadang sinyal di sana masih nyantol. Tapi karena sinyal yang lemah menjadikan kami sangat sulit untuk menghubunginya. Sesampai di Pos 3, lagi-lagi kami tak mendapati muka Anggi. Kemana gerangan anak ini. Tapi saya tak berputus saya. Satu pesan saya kirim lewat SMS berharap mendapat keajaiban akan kabar Anggi. 

Tinggg... ada pesan masuk. “Tak tunggu di warung mbok yem,” balasnya singkat. Sontak membuat kami bersyukur karena mendapati kabar dia baik-baik saja. Namun karena ulahnya yang membuat kita bertiga khawatir setengah mati, membuatku sedikit marah dengannya karena tidak mengabari dulu kalau misal mau berangkat dulu. Sebagai seorang leader dalam rombongan pendakian akulah yang mesti bertanggung jawab jika terjadi apa-apa dengan tim. Setelah itu ku kirimkan satu pesan dengan nada agak marah ke Anggi.

Ojok ngawur bro..! Tunggu di pos 4 aja. Kita ini lagi bingung cari kamu, tenda di kamu, headlamp di kamu, logistik. Pliss jangan egoislah. Kita berangkat bareng-bareng, pulang juga bareng!” balasku kesal.

Tak ada balasan, mungkin sinyalnya lenyap lagi di antara kabut sore yang mulai menghampiri. Kuceritakan balasan SMS-nya kepada Ardi dan Fifi, mereka saling saut menyaut mengumpatinya. Fifi terutama,“Oh... Dasar Anggi. Hati-hati ya kalau ketemu.” Ancamnya ke sekian kalinya.

Keindahan awan sudah terlihat di pos 3. Membius mata akan ke indahan panorama Lawu sore itu. Rasa kesal dan marah karena ulah Anggipun sedikit mereda seiring dengan dimanjakannya mata kami akan kebesaran ciptaan-Nya. Sehabis berfoto-foto dan membuat video singkat, kamipun melajutkan perjalanan.

Di tengah perjalanan menuju pos 4 yang bisa dibilang treknya lumayan terjal, walaupun jalannya sudah lumayan tertata rapi dengan bebatuan yang di pasang sepanjang jalan. Fifi mengeluhkan bahwa dia sudah tak sanggup lagi berjalan. Saya terus menyemangatinya. Sementara hari sudah kian sore, dan dari kami bertiga hanya saya yang membawa headlamp. Headlamp yang lain di tas carrier yang dibawa Anggi, logistik makanan bahkan tenda juga dibawanya. Berhubung siang itu kami belum makan, mungkin perut kami juga lumayan lapar. Meringkih-ringkih meminta untuk di isi bahan bakar makanan.

Bersyukur, untungnya saya masih membawa beberapa snack yang bisa dimakan untuk mengganjal perut. Saya keluarkan roti untuk dimakan bersama. Tatkala kami melanjutkan perjalan lagi, Fifi berhenti dan mengeluh lagi bahwa dia sudah tak sanggup naik. Kali ini lebih parah, dia merasa kedingianan. Buru-buru jaket yang semula tidak di kancing, aku minta untuk mengancingnya. Ku kasih lagi sisa roti yang tadi untuk dimakan lagi sembari berdoa agar semua baik-baik saja. Dia menangis, akupun coba untuk menenangkanya. Bersama Ardi kami bergantian menuntunnya pelan-pelan untuk naik, berharap pos 4 sudah dekat.

Saya sebenarnya sudah khawatir, kalau jangan-jangan Fifi terkena Hipo. Tatkala kami mendapat kabar dari pendaki lain bahwa pos 4 sudah dekat. Saya senang bukan main, saya memutuskan untuk mengajak tim menuju pos 4 karena jaraknya lebih dekat daripada kami harus kembali lagi ke pos sebelumnya karena kekhawatiran akan kondisi Fifi. Sesampainya di pos 4, saya mengajak Ardi untuk mencari kayu-kayu kering untuk kemudian dibuat api unggun. Ketika Api unggun sudah menyala, buru-buru Fifi saya minta untuk menghangatkan badan. Wajahnya yang semula terlihat pucat, kini sudah lumayan ceria lagi walaupun di satu sisi masih tampak lesu. Mungkin salah satu penyebabnya adalah lapar.

Dipos 4 kami lumayan terhibur dengan kedatangan dua pendaki cilik. Gadis-gadis kecil itu lucu, imut sekaligus mengagumkan kami yang diusianya masih kisaran 7-8 tahun sudah mendaki salah satu gunung seven summit of java, Lawu. Tentunya dengan didampingi sama orang tuanya.

“Meraka masih bocil tapi sudah ikutan mendaki Lawu Fi, masak kamu yang sudah besar kalah!” celetuk Ardi, mengejek Fifi. Saya hanya tersenyum, Fifipun demikian. Tak lama kemudian, tiba-tiba Anggi tampak datang dari atas menghampiri kami. Mata kamipun seketika terfokus kepadanya.

“Koen nyandi ae cuk!!” bentak saya sambil menamparnya. Tidak keras, bukan fisiknya yang ingin kutampar namun hatinya. Sejenak kemudian aku terdiam menahan amarah. Ardi melanjutkan pembicaraan. Saya meninggalkannya untuk buang air kecil. Dan Fifi tampak berbincang dengan Anggi dan menamparnya lagi. Sebetulnya saya tidak enak hati memperlakukan teman sendiri seperti itu. Namun, saya tak ada cara lain untuk menyadarkannya. Lebih baik tangan saya yang bicara daripada mulut banyak cakap. Toh katanya, mulut lebih tajam daripada senjata. Mulutmu Harimaumu, begitu katanya.

Selepas waktu maghrib, kamipun melanjutkan perjalan menuju pos 5. Trek perjalanan dari pos 4 menuju pos 5 memang lumayan landai daripada pos 3 ke pos 4. Saat menemukan jalur pendakian yang landai saat penjalanan, kami biasanya menyebutnya itu “bonus”. Namun, kali ini sedikit berbeda. Aku memulai untuk menggendong si Fifi karena dia sudah tidak begitu kuat. Setengah perjalanan, rasanya sangat memeberatkan pundak. Ardi menggantikannya sampai pos 5. Di pos 5, kamipun berhenti sebentar. Fifi mengeluh lagi. Kali ini dia benar-benar sudah merasa kedinginan, dia menangis. Padahal jarak ke warung yang buka di sendang derajat masih 15 menitan lagi.

“Udah nggak kuat mas..,” Keluh Fifi sambil terisak tangis. Sayapun sebenarnya sangat kasihan melihat kondisinya. Tapi kami bingung, tenda dan logistik ada di Carrier Anggi yang dititipkan di Warung Sendang Drajat. Terbesit dipikiran untuk menitipkan Fifi di Tenda pendaki lain yang mendirikan tenda di situ. Tapi dengan berbagai pertimbangan akhirnya kamipun mencoba untuk membawanya ke Warung saja. Selain di warung juga sudah pasti tersedia api unggun untuk memasak, di sana juga kalau misal ingin beli makanan dan teh hangat bisa langsung pesan.

“Ayo Fii... sini aku gendong aja,” ajak Anggi pada Fifi. Semenjak sampai di Pos 5, Anggi memang terlihat yang paling perhatian sama kondisi Fifi. Mungkin dia merasa bersalah atas kejadian menghilangkan diri dari tim kami sebelumnya. Setelah berjalan beberapa menit. Anggi terlihat terhuyung-huyung menahan berat badan Fifi yang tidak terlalu besar. Ya, sekecil-kecilnya orang kalau sudah digendong saat mendaki Gunung sudah pasti akan sangat menyiksa punggung. Akhirnya kami berhenti sejenak.

Tatkala hari sudah semakin malam, hawa dingin Lawupun tak kalah ganasnya menerjang kami. Angin yang berhembus di lembah yang kami lewati menambah hawa dingin semakin menusuk. Fifi tampak mengginggil. Tiba-tiba kami didatangi beberapa pendaki yang hendak menuju sendang drajat juga. Bersyukur, mereka menawari bantuan untuk membawakan tas kecil yang di bawa Ardi. Salah satu dari laki-laki pendaki itu meminta kami untuk membungkus saja Fifi dengan sleeping bag dan menggotongnya berdua sampai warung. Untungnya ada 2 sleeping Sleeping bag di dalam tas carrier-ku yang bisa dipakai. Tas Fifi saya bawa, sementara Anggi dan Ardi bersama-sama menggendong Fifi.

Dalam keadaan seperti itu, saya tak henti-hentinya berdoa dalam hati untuk keselamatan Fifi. Ketika kami melihat ada lampu-lampu yang menyala di depan serta riuhnya pendaki yang mendirikan tenda di sekitar warung Sendang drajat, kami sangat bersyukur. Beberapa pendaki menghampiri kami, setelah tahu bahwa teman kami Fifi terkena Hipothermia ringan, mereka segera bahu membahu ikut membawa Fifi ke dalam Warung dan mendekatkan dengan sumber Api yang dibuat untuk memasak penjaga warung.

Saya kemudian memesankannya teh dan nasi. Dari kejadian itu saya menyadari betapa banyaknya pelajaran berharga kala itu. Tentang bagaimana menangani pendaki yang terkena Hipo yang kebetulan waktu itu juga dibantu oleh seorang bapak-bapak, dan juga tentang betapa pentingnya solidaritas antar pendaki. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau kita di gunung yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan ini saling acuh tak acuh terhadap sesama. Disitulah kami merasa mendapatkan keluarga baru, meskipun baru mengenalnya.

Setelah mengisi perut dengan nasi pecel kamipun memutuskan untuk menginap saja di warung tersebut. Alhamdulilla atas kuasa Tuhan Fifi malam itu masih bisa terselamatkan. Anggi semenjak itu tak henti-hentinya menjaga Fifi dan memperlakukannya bak seorang Putri raja. Bahkan, keeosokan harinya tatkala saya dan Ardi mau muncak, Anggi dengan rela untuk tetap menjaga Fifi. “Kalian aja yang muncak, biar aku sama Fifi.” Pintanya.

“Fotoin sunrise-nya ya mas,” pinta Fifi. Yang kemudian saya jawab dengan anggukan dan senyuman. Kala itu saya dan Ardi sebenarnya sudah ketinggalan sunrise sebab terlalu bersantai di dalam warung. Hingga pada akhirnya sang surya pagi mulai muncul kami baru keluar dari sarang. Ah, sialnya aku. Sudah capek-capek naik ke puncak tidak menjumpai Sunrise. Berbekal kamera Canon DSLR yang lumayan memberatkan pundak ketika saya bawa muncak, sang surya pagipun bisa ambil foto layaknya sunrise. Terimakasih Canon.



Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai puncak, dari sendang drajat ke puncak kami berjalan hanya 15 menitan sudah sampai di puncak Hargo dumilah. Puncak Hargo Dumilah adalah puncak tertinggi gunung lawu dengan ketinggian 3.265 MDPL (Meter Di atas Permukaan Laut). Sebenarnya di Lawu memilik tiga pucak, yakni Hargo Dalem, Hargo Dumiling, dan puncak tertinggi bernama Hargo Dumilah. Di puncak Hargo Dumilah juga terdapat tugu petanda yang biasa dibuat pendaki untuk berfoto ria di sana. Disana, para pedaki tampak sedang asyik menikmati puncak lawu di bawah hangatnya sang surya dan indahnya lautan awan. Ternyata beginilah Lawu, cantik sekali.

Sehabis mengambil gambar dan menikmati suasana puncak lawu dengan segala keindahannya, saya dan Ardipun kembali ke warung sendang drajat untuk menikmat pecel di atas ketinggian. Tatkala sudah sampai di dekat warung kulihat Fifi yang ditemani Anggi sedari malam. Mereka sedang makan di bawah teriknya matahari pagi menjelang siang itu. Kitapun menghampirinya, dan tiba-tiba saja Anggi berjabat tangan dan memelukku lalu meminta maaf atas kesalahan yang ia perbuat kemaren. Saya dan Ardipun dengan senang hati memaafkannya. Kemudian saya jelaskan kenapa kemaren saya jengkel dan marah dengannya. “Lain kali jangan gitu ya bro.. kita ini kan satu tim. Jangan pernah terpencar gimanapun keadaannya, puncak dalam pendakian itu kan hanya bonus, tujuan utama kita mendaki adalah pulang dengan selamat,” ucap saya pelan kepadanya. Diapun mengangguk, tanda menerima kata-kata saya.

Rencana awal saya dan Ardi yang ingin mengajak Fifi dan Anggi untuk turun jam 10 pagi harus kami tunda lantaran mereka berdua tak kunjung balik ke warung tempat kami menginap semalam. Berhubung badan lumayan capek saat kita summit pagi hari tadi, saya dan Ardi memutuskan untuk tidur terlebih dahulu sembari menunggu Anggi dan Fifi kembali. Baru pada Pukul 1 siang kamipun memutuskan untuk kembali turun ke basecamp untuk kemudian pulang ke rumah. Fifi yang sedari kemaren memasang wajah pucat, kini saat perjalan pulang kembali ceria. Nalurinya sebagai cewek yang suka fotopun saya iyakan saja untuk memfotonya ketika minta untuk difotokan. Tak apa-apa yang penting teman saya itu senang.

Nesting yang sedari kemaren belum ke pakai, akhirnya siang itu baru kepakai ketika kami sampai di pos 4. Kami memasak mie goreng dan melahapnya untuk menambah energi turun ke bawah. Sebenarnya makan mie di gunung tidak disarankan, sebab kandungan kalori dan karbohidrat mie instan termasuk sedikit dibandingkan makan nasi. Namun, berhubung kami lupa untuk membawa beras dan sudah terlalu lapar. Kami putuskan untuk memasak mie instan saja. Setelah berhenti sekitar satu jam untuk makan siang, kamipun melanjutkan perjalan turun.  

Fajar kian melahap. Ketika kami sampai di pos 2, kami putuskan untuk berhenti sejenak menunggu waktu sholat maghrib usai. Konon, apabila kita sedang melakukan pendakian yang mana waktu sudah lepas dari jam 5 sore, kita tidak dianjurkan untuk melanjutkan perjalanan sampai menjelang waktu sholat isyak. Jika ada yang melanggarnya, bisa saja kita tersesat saat perjalan. Atau mendapati kejadian yang di luar dugaan. Daripada terjadi apa-apa maka kami putuskan untuk berhenti sejenak, menikmati sebatang rokok yang sedari kemarin baru sempat aku rokok sore hari itu.

Rokok saat pendakian bagi saya hanya untuk menghangatkan tubuh saja dan biar tidak dikerubungi nyamuk. Selebihnya untuk bersosialisai dengan orang lain saja. Bukankah lebih baik menyalakan rokok, daripada menyulutkan api kebencian terhadap sesama. He. Sebetulnya saya tidak terlalu suka dengan rokok. Kadang-kadang saja, untuk menegaskan bahwa saya bukanlah termasuk golongan yang mengharamkan rokok.

Sehabis usai waktu sholat magrib, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalan turun. Ketika perjalanan antara pos 2 ke pos 1 pengalaman yang menurut saya agak mistispun menghampiri kami. Kebetulan waktu itu saya berjalan di depan, saya melihat sekitar jarak 10 meter di depan saya ada cahaya merah bak lampu emergency headlamp. Saya mencoba untuk berpikir positif kalau itu adalah pendaki. Namun karena rasa penasaran, saya coba mendekatinya. Dan tiba-tiba cahaya merah yang saya kira adalah pendaki itu hilang bagai ditelan bumi. Saya hanya mampu beristighfar dalam hati, karena sedikit rasa takut. Sembari berdoa kepada Tuhan, saya tetap melanjutkan perjalanan tanpa bercerita apa yang saya lihat barusan ke teman-teman saya yang di belakang. Takut saja membuat mereka tambah khawatir dan takut.

Memang benar, manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan. Ardi mulai mengeluhkan kakinya sakit sepenjang perjalan ke pos 1, beberapa saat kemudian sayapun merasakan demikian. Niat awal kami yang ingin nge-camp di dekat basecamp terpaksa harus sedikit kami rubah planning-nya. Kami malam itu memutuskan untuk ngecamp saja di pos 1, beristirahat untuk kemudian besuk melanjutkan turun. Setelah kami mendirikan tenda, kami sempat berbincang dengan beberapa pendaki senior yang juga nge-camp di atas dekat tenda kami. Api unggun yang dibuat beberapa pendaki itu membuat badan kami sedikit terhangatkan. Terlebih ketika meraka yang tampak sudah sedikit tua itu bercerita tentang pengalamannya mendaki dan berkelana. Salah satu dari mereka pernah mendaki digunung selama satu bulan, menjadi survivor dan bertahan hidup diantara belantara gunung Lawu.

Malam harinya ketika kami beranjak tidur. Saya merasakan hal aneh yang membuat saya susah untuk tidur sampai tengah malam. Saya berkali-kali ketindihan (penampakan hantu saat tidur). Saya merasa di luar itu seakan ada yang mengitari tenda kami. Dan saat saya ketindihan beberapa saat kemudian seperti ada harimau yang menerkam dan menggeret kaki saya. Sontak saya coba untuk membacakannya ayat kursi dan akhirnya harimau itupun pergi. Entah itu memang benar hantu atau bukan, saya tidak ingin memperdebatkannya. Tapi memang Lawu terkenal dengan hal-hal mistisnya sebab yang datang ke Lawu bukan hanya murni untuk mendaki seperti kami. Namun banyak juga  yang katanya ingin menjajal pengalaman spiritualnya bahkan konon sampai dibuat tempat pesugihan.

Keesokan harinya setelah kami memasak mie lagi untuk dibuat sarapan (mie lagi mie lagi hufft!) kami melanjutkan perjalan turun. Sesampainya di basecamp, kami langsung mandi di kamar mandi di sekitar basecamp dan sholat dhuhur di mushola. Setengah jam beralu, kamipun berpamitan dengan bang Udin penjaga basecamp Cemoro Sewu yang kami kenal saat dua hari yang lalu sebelum naik ke puncak. Kami sehabis itu sepakat untuk berhenti dan mencari makan di sekitar telaga sarangan.

Telaga Sarangan juga dikenal sebagai Telaga Pasir. Telaga ini berada diketinggian 1.200 MDPL dan terletak di lereng Gunung Lawu, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan. Tapi kami tidak sempat untuk mampir di tempat wisatanya. Hanya kebetulan dipinggir jalan ada warung-warung makan yang bisa melihat keindahan telaga dari kejauhan kami memutuskan untuk makan disitu sembari melihat telaga.



Lawu telah memberikan banyak kenangan dan pengalaman yang berharga bagi kami. Rintangan dan halangan saat mendaki seakan menjadi miniatur suka duka kehidupan kita di dunia. Keindahan alam memang tersembunyi di balik jalan yang terjal dan penuh rintangan. Pun sama dengan surga-Nya kelak. Namun, yang terpenting adalah jangan putus asa, tetaplah bergerak dengan menghadapi masalah tersebut. Bukannya malah menjauhinya. Sebab, masalah yang Tuhan berikan kepada kita pastilah sesuai dengan kadar kemampuan kita. Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa. (QS.Al-Baqarah: 286).

Salam Lestari...!!!

Salam Literasi...!!!



Surabaya, 10 September 2020 || Budi Setiawan