Kamis, 18 Februari 2021

KADO CINTA UNTUK IBU

 [ JJB ke #38 ]

"Datang akan pergi

Lewat kan berlalu

Ada kan tiada bertemu akan berpisah

Awal kan berakhir

Terbit kan tenggelam

Pasang akan surut bertemu akan berpisah..." -Sampai Jumpa (Endank Soekamti)

Foto pribadi

    Suara gemuruh nyanyian lagu berjudul "Sampai Jumpa" milik Endank Soekamti itu bergema di seisi ruangan Gedung Dyandra Convention Centre. Tempat digelarnya Wisuda mahasiswa STIE Mahardhika pada tanggal 29 November 2020 yang lalu. Menggetarkan hati para wisudawan dan wisudawati yang tengah melaksanakan prosesi wisuda. Tak terkecuali aku. Seorang laki-laki berkacamata itu turut serta bernyanyi dalam alunan lagu sendu, yang tanpa terasa air matanya mengalir bak sumber mata air yang datang tiba-tiba.

    "Buk... Nanti kalau saya sudah Wisuda jenengan saya ajak ke acaranya nggeh Buk sama Bapak. Nanti setelah Wisuda terus kita foto-foto juga sama Mas Toto." Ucapku 2018 yang lalu saat liburan hari raya. 

    "Iya Lee.." Ucap Ibu sembari tersenyum. Ku lihat tersirat kebanggaan di senyum manisnya.

    Dari tiga bersaudara, akulah salah satu anaknya yang bisa sampai melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Masku yang pertama hanya melanjutkan pendidikan sampai SMP, dan setelah itu dia berjuang keras di tanah rantau. Melanjutkan hidup untuk menjadi contoh bagi adik-adiknya. Dan masku yang kedua bahkan hanya tamatan SD, sebelum pada akhirnya melanjutkan pendidikan agama di Pondok Pesantren selama 6 Tahun.

    Keberhasilan pendidikanku tak lepas dari jerih payah dan perjuangan Ibu. Apapun ia lakukan demi untuk mendukungku melanjutkan pendidikan. Bahkan Ibu sampai rela untuk merantau ke Surabaya untuk membiayai sekolahku. Mulai dari menjadi pegawai di Toko emas sampai jadi PRT-pun dia lakoni untuk menopang biaya pendidikan dan hidup kami.

    Ibu juga seorang yang taat beragama. Tak pernah kulihat dia meninggalkan sholat lima waktu ditengah kesibukannya. "Kalau Ibu sholat malam, Ibu selalu mendoakan untuk kesuksesanmu kelak Le..," Begitu katanya teduh, yang mungkin sudah tiga atau empat kali  aku mendengar ceritanya.

    Tatkala aku bisa kuliah dengan biaya sendiri, Ibu senangnya bukan main. Lebih tepatnya bangga. Dari cerita Bulek, aku tau Ibu selalu bercerita tentang anaknya ini diperantauan yang katanya sudah mandiri.

    Namun sayang, ketika hari kebahagiaan itu datang. Ibu sudah tak ada di sampingku untuk menemani Wisuda anak kebanggaannya. Tak ada lagi tangis bahagia dari Ibu, yang ada hanyalah tangis sendu dariku karena janji-janji kebahagiaan itu belum sempat aku tepati saat beliau masih hidup. 

    Ibu lebih dulu dipanggil oleh Tuhan. Mungkin kala itu Allah lebih sayang sama Ibu. Ketika Ibu harus berbaring di ranjang Rumah sakit selama satu hari satu malam karena sakit yang dideritanya. Ibu divonis dokter mengalami stroke berat. Tensi darahnya naik hingga 200 mmHg. Dari hasil diagnosis dokter, katanya pembuluh darah di otak Ibu pecah. 

    Ibu terbaring lemah dan tak sadarkan diri. Aku dan kakak-kakaku tak henti-hentinya melafalkan doa untuk kesembuhan Ibu. Malam kala itu makin larut, udara dingin masuk lewat celah-celah cendela, hingga menerobos ke hati kami. Ibu tak jua sadarkan diri. Hingga pada akhirnya Ibu menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 1 malam dini hari. Bertepatan dengan malam Jumat. Malam yang baik, begitupun dengan kematiannya. Semoga saja.

    "Innalilahi Wa Inna ilaihi Raji'un..." Hanya doa terbaik yang bisa kami lantunkan untuk menemani kepergiaannya. 

    Dan sekarang, janji anakmu sudah terbayarkan buk. Wisuda kali ini menjadi Kado Cinta special untukmu buk. Aku yakin, Ibu pasti senang. Ibu selalu mengawasi anaknya ditengah kesibukannya di Surga. Salam cinta dari kami buk. Tertanda, anakmu tersayang!

Surabaya, 19 Februari 2021 || Budi Setiawan


 


Kamis, 11 Februari 2021

DARI MENULIS BUKU TERBITLAH BUKU NIKAH

[ JJB ke #37 ] 


Sumber: Foto pribadi


Surabaya, 3 Februari 2021

20.30

“Mas, besuk kalau mau kasih mahar, buku aja ya mas. Jadi Mas nulis buku lagi,” ucap wanita yang malam itu di depanku. Wajahnya bercampur sinar lampu terang cafe hingga memantulkan cahaya indah di dua kornea matanya. Wulan, begitu orang-orang memanggilnya. Sesuai namanya, wajahnya kuning bersinar bak rembulan.

“Hah... Buku?” Sahutku kaget.

“Iya, mas. Tapi nggak maksa lho. Kan mahar katanya nggak boleh memberatkan.” Jawabnya pelan.

Kemudian senyum penuh teduh padanya kuantarkan. Wanita ini tau saja kalau kekasihnya sudah lama tidak menulis buku. Memang rencanaku dulu sebelum menerbitkan buku nikah, setidaknya satu atau dua buku bisa aku tulis lagi.

“Iya dek. Mas jawab sehabis lamaran ya permintaan adek.” Ujarku menjanjikan jawaban.

Perasaanku kala itu campur aduk. Dari permintaan maharnya aku membayangkan bahwa dia bukan hanya wanita cantik yang dikirimkan Tuhan untuk menjadi pendamping hidupku. Namun juga insyaAllah wanita shalihah yang ditakdirkan untuk mendukung proses berkaryaku sebagai penulis. Menjadi laksana obor penyemangat di kala malam hitam kelam menyulitkanku menyusuri jalan sunyi kepenulisan.

Memang menulis belum menjadi profesiku seutuhnya. Lebih tepatnya hanya sekedar hobi yang aku tekuni saja. Namun, aku teringat kata-kata yang pernah dilontarkan oleh Kang Ridwan Emil, “pekerjaan yang paling menyenangkan itu adalah hobi yang dibayar.” Begitu katanya. Aku sepakat dengan Kang Ridwan. Tapi sejak awal uang bukanlah motif utama kenapa aku mesti menulis. Itu hanya bonus. Selebihnya aku menyetujui kata Pramodeya, bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Pun aku teringat dengan kata mentor menulisku dulu, Mas Brili. Menulis juga bisa menjadi ladang amal kita berupa ilmu yang bermanfaat. Yang pahalanya tidak akan terputus meskipun kita sudah meninggal kelak. Syahdan, lewat dialog singkat dengan calon makmumku malam itu, seakan alampun mendukungku untuk tetap semangat dalam berkarya lewat tulisan.


Minggu, 7 Februari 2021

Aku memandang keluar jendela mobil. Matahari diantara akhir musim penghujan itu masih menumpahkan sisa sinarnya diantara kabut awan-awan hitam. Kulihat jam di pergelangan tangan kiriku sudah menunjukkan pukul 09.10. Mobil toyota rust warna putih itu menghantarkanku dan keluargaku ke suatu desa di kota Jombang. Meminang seorang gadis yang baru tiga bulanan dekat dengannya. Di tengah hari istimewa itu ada tiga hal yang menjadi beban pikiranku.

Pertama, aku dan keluargaku sedang berbahagia di hari istimewa itu, namun tanpa kehadiran Almarhum Ibuku. Kedua, ini adalah kali pertama aku berani melamar anak orang. Aku hanya menerka-nerka bagaimana jalannya acara nanti. Lalu yang terakhir, Apa yang akan kuhadapi setelah selesai acara tunangan ini, bagaimana jawaban dari permintaan akan maharnya kemaren? Sepanjang perjalanan, aku hanya memperlihatkan muka yang senang dan gembira, tanpa memberi tahu sedikitpun apa yang menjadi pertanyaan yang menjadi kegelisahan dalam hatiku.

Dua hari seusai acara pertanyaan itu muncul kembali di benakku. Cepat atau lambat aku harus segera mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu untuk kemudian aku forward jawaban itu ke tunanganku. Apakah aku harus mengiyakan atau justru menolak permintaan itu dengan beberapa alasan. Ya, begitulah kehidupan. Terkadang kita disuguhkan dengan teka-teki yang wajib kita selesaikan.

Mahar (mas kawin) adalah salah satu syarat sahnya pernikahan. Dalam Islam sendiri, mahar adalah untuk sempurnanya nikah. Di Al-Qur’an, Allah telah menjelaskannya dalam surat An-Nisa ayat 4 berbunyi:

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Demikian Firman-Nya. Begitupun dengan sebuah hadist beliau Nabi juga menyebutkan:

“Wanita yang paling besar berkahnya ialah wanita yang paling mudah (murah) maharnya.” (HR.Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baihaqi)

Hadis ini sangat sejalan dengan kata tunanganku beberapa waktu lalu. Setelah menimbang dan menimbang lalu memutuskan, InsyaAllah akupun siap untuk menjawab permintaan tunanganku. Akan ku usahakan, lalu menyerahkan segala usaha itu pada Allah. Sebab, tiada daya dan upaya melainkan daya dan upaya dari Allah semata.

“Bismillah tawwakaltu ‘alallah. La haula wala quwwata illa billah,” ucapku kemudian. Dari menulis buku, terbitlah buku nikah. Semoga saja.


Surabaya, 11 Februari 2021 || Budi Setiawan

Kamis, 10 September 2020

MENUJU PUNCAK LAWU: PERJUANGAN, UJIAN DAN MISTIS

[ JJB Ke #36 ]



“Mas... Pendaftarannya sudah tutup!” teriak seorang parkir yang mengagetkan kami berempat sore itu.

“Waduh... Piye bro iki?” (waduh... bagaimana bro ini) tanya saya kepada teman-teman saya dengan raut muka yang disertai kekecewaan.

Belum juga menaruh tas carrier yang membebani pundak kami saat perjalanan Surabaya-Cemoro Sewu, Magetan dengan kuda besi. Kami langsung diterpa dengan kabar buruk tentang tutupnya pendaftaran pendakian. Aku kira Lawu sedang ditutup jalur pendakiannya sebab ada kejadian meninggalnya seorang survivor dua Minggu sebelumnya. Ternyata, usut punya usut jam pendaftarannya saja yang sudah tutup. Pendaftaran baru ditutup 30 menit sebelumnya, sedangkan kami datang pukul 15:30 sore.

Syahdan, kami berembuk dan memutuskan untuk numpang tidur di basecamp cemoro sewu saja. Kendati menurut info tukang parkir di sana banyak villa yang di sewakan, tapi lebih baik kami tidur menggembel saja di basecamp untuk menghemat. Toh, tujuan awal kami mendaki bukan untuk tidur di Villa tapi tidur di tenda.

Buru-buru kami bergegas ke basecamp dan menyalami beberapa penjaga basecamp dan pendaki lain yang bernasib sama dengan kami. Mereka terlihat sedang duduk-duduk di teras basecamp. Setelah basa-basi memperkenal diri kami pun diminta menaruh tas di dalam basecamp. Kemudian teman-teman saya merebahkan diri di kasur yang tergelar di ruang tamu tersebut, sementara saya sendiri yang terbiasa bersosialisasi dengan orang lain memilih untuk ikut jagongan mas-mas penjaga basecamp di teras. Padahal aslinya dulu saya orangnya pendiam, cuma karena tuntutan pekerjaan dan organisasi saya akhirnya mulai terbiasa untuk speek up dan jadilah sedikit extrovet.

Tapi namanya juga sudah menjadi karakter, sebaik apapun kita menyembunyikannya sifat asli pendiam saya selalu saja diketahui oleh orang lain. He.

Selepas itu saya mengajak teman-teman saya untuk sholat di mushola bawah jalan raya sembari berjalan kaki. Ketika hendak berwudhu Brrrrr.... rasanya sumpah adem banget airnya, pikir saya. Sehabis sholat kami putuskan untuk mencari warung untuk sekedar mengisi perut yang mulai keroncongan. Sate kelincipun saya pesan karena penasaran dengan rasanya. “Gak kasihan ta mas sama kelincinya?” tanya si Fifi. “Lah.. kenapa emang?,” tanya saya. “Ya kasihan aja, kelinci kan lucu masak sampean tega memakannya”. “hehe.. iya sih. Penasaran aja,” jawab saya sekenanya yang tak sabar untuk segera menyantapnya.  Saya adalah tipikal orang yang tidak bisa diajak diskusi ketika perut sedang kosong. Maka jangan heran, saat saya diam aja itu berarti saya sedang laper. Solusinya, ya kasih aja makanan biar ngoceh terus. He

“Mas, sudah dapat tempat tidur?” sapa penjaga basecamp yang baru ku kenal dengan nama Zainuddin.

“Belum mas din..”

“Buruan aja booking tempat tidurnya, kasih tanda matras atau sleeping bag. Mumpung masih sore masih sepi.” Terangnya. Kamipun mengangguk tanda menyetujuinya. Kemudian si Ardi dan Fifi masuk ke dalam untuk mencari sekaligus booking tempat tidur untuk malamnya. “Oh... ternyata caranya dapatin tempat tidur di basecamp seperti itu” gumam saya. Memang semenjak saya mulai jatuh cinta dengan dunia pendakian, baru kali ini merasakan tidur di basecamp jalur pendakian. Ini merupakan pengalaman sekaligus pelajaran baru.

Malam harinya, setelah mendapat info dari penjaga basecamp bahwa kira-kira 200 M dari basecamp sudah sampai di perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah. Fifi, gadis berperawakan kecil yang bermental baja ini mengajak saya, Anggi dan Ardi ke perbatasan. Aku baru kenal Fifi kurang lebih tiga minggu sebelum keberangkatan. Di mataku dia adalah wonder woman-nya arek Sidoarjo. Latar belakang keluarga yang dia ceritakan, telah menjadikannya seorang gadis yang tangguh. Diusianya yang masih menginjak usia quarter life crisis dia sudah punya usaha counter hp sendiri.

Kamipun berjalan kaki menuju perbatasan sembari beradaptasi dengan hawa dingin Cemoro Sewu yang kala itu sekitar 8°C. Itu masih di kaki gunungnya, bagaimana nanti kalau sudah di puncak? Pikir kami. Sehabis membuat video seru-seruan, kami ngopi lagi untuk menghangatkan badan dengan segelas jahe. Setelahnya kami kembali lagi ke basecamp. Sebelum beranjak tidur ada hal yang mengejutkan teman saya Anggi. Lebih tepatnya memalukan. Kala kami berempat sedang nongkrong dengan para penjaga basecamp sambil bermain gitar untuk memecah keheningan malam. Anggi tiba-tiba tanpa disengaja minum alcohol milik si penjaga  basecamp yang diwadahi aqua botol. Dia kira itu air minum dan tanpa permisi langsung ditegugnya. Setelah itu buru-buru dia ke belakang untuk memuntahkannya.

“Rasanya segar mas?” tanya penjaga basecamp.

“Iya mas,” jawab Anggi sambil nyengir.

Dasar Anggi, begitulah akibatnya jika minum tidak tanya dan permisi dulu ke yang punya. Hehe.

Keesokan harinya, kami dibangunkan oleh suara ibu-ibu yang menjajakan nasi bungkus dan gorengannya ke basecamp. Padahal waktu itu kami masih enak-enaknya tidur. Waktu masih menunjukkan pukul 4 pagi, sementara ibu-ibu itu sudah dengan enaknya membangunkan mimpi indah kami. Ah, tidak apa-apa. Justru karena suara nyaring ibu-ibu itu kami bisa terbangunkan untuk menunaikan kewajiban sholat shubuh. Benar kata Al-qur’an, tak ada yang sia-sia segala sesuatu itu diciptakan.

Sehabis sholat shubuh Fifi menawari saya, Ardi dan Anggi untuk membeli nasi bungkus ibu tadi. Mungkin karena kami kasihan dengan jerih payah ibu itu dan disertai dengan perut yang mulai keroncongan sebab hawa dingin pegunungan. Kamipun membeli nasi bungkus ke Ibu itu dan sarapan bersama di dalam basecamp.

Setelah kami berkemas untuk melakukan pendakian, saya kemudian pergi ke pos jaga masuk jalur pendakian untuk melakukan pedaftaran dan membayar SIMAKSI. Ternyata banyak teman-teman saya yang belum tahu juga tentang SIMAKSI. “Apa itu SIMAKSI?” begitu tanyanya. SIMAKSI bukan, SI EMAK SEKSI, bukan. SIMAKSI atau Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi merupakan dokumen bukti legalitas orang untuk melakukan aktivitas tertentu dalam kawasan konservasi. Misalnya untuk melakukan pendakian.

“Sebelum melakukan pendakian, mari kita berdoa kepada Allah SWT. Agar diberi kelancaran dan kesehatan selama diperjalanan ke puncak Lawu. Semoga kita berangkat dengan selamat, pulangpun dengan selamat. Berdoa... dipersilahkan!” ucap saya memimpin doa. Berharap kepada sang Maha kuasa agar diberi keselamatan selama perjalanan mendaki.

Kamipun akhirnya berangkat melakukan pendakian dengan riang gembira dan semangat membara untuk mencapai puncak Lawu. Ku tengok jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 8:30 pagi. Belum genap berjalan 10 menit, Fifi sudah mengajak istirahat. Setelah beberapa saat berjalan lagi, lagi-lagi Fifi berhenti dan kulihat nafasnya yang ngos-ngosan.

“Jangan bilang ah..ah.. gitu fi,” Ardi mengajak bercanda. 

“Lho enggak Di.. wong lagi capek kok,” timpalnya.

“Atur nafasnya yang baik Fi, belajar pernafasan. Biar nggak kayak orang lagi panik gitu. Sini aku ajarin cara ngatur nafas” ucap saya, disertai dengan latihan nafas agar tidak mudah ngos-ngosan selama berjalan.

Sedari awal saya dan Ardi sudah memperkirakan. Fifi pasti akan sedikit kepayahan saat naik. Terlebih selain dia cewek sendiri dalam rombongan kami, Fifi juga tampak tak begitu memedulikan persiapan saat pendakian. Pelatihan fisik seperti berlari enggan melakukannya, memakai sepatu casual dan hanya memakai jaket biasa. Padahal bagi pemula, persiapan itu mutlak dipersiapkan matang-matang. Tapi karena dia bersikukuh untuk ikut mendaki, kamipun membolehkannya ikut.

Selama perjalan ke Pos satu, kami isi dengan bercanda ria, dengan membuat video nyanyi-nyanyi untuk menghibur diri selama perjalanan. Di pos satu kami langsung menuju shelter untuk rehat sejenak. Di sebelah jalan terdapat warung yang menjajakan gorengan dan nasi kepada pendaki. Baru kali ini saya melakukan pendakian dan menemukan warung di jalur pendakian. Memang lawu adalah salah satu gunung yang banyak warungnya. Bahkan sampai puncaknya yaitu di hargo dalem ada warung yang sangat fenomenal di kalangan pendaki. Warung ini bernama warung “Mbok Yem”. Menurut kabar yang beredar di internet, warung mbok yem ini adalah satu warung tertinggi se-Indonesia. Wow.. Amazing men...!!

Setelah memesan gorengan dan istirahat sejenak, kamipun kembali melanjutkan perjalan ke pos 2. Jarak Pos 1 ke Pos 2 ini bisa dibilang luamayan panjang. Kira-kira menghabiskan waktu sekitar 1,5 jam. Selama perjalan kami menemukan keramahan para pendaki yang saling bertegur sapa sepanjang jalur pendakian walaupun kami tak saling mengenal. Kurasa hal seperti ini sangat jarang ku temukan di kota. Beberapa waktu kemudian, saya iseng minta foto dengan seorang gadis manis asal jawabarat. Anehnya atribut pendakian yang saya bawa dengan gadis itupun banyak kesamaan. Baik itu baju flanel warna merah yang saya pakai, sepatu dan trekking pole juga sama.

“Cie-cie, samaan. Jangan-jangan jodoh nih,” ledek Fifi yang sedari tadi menertawakanku saat meminta foto dengan gadis tersebut. Kamipun lantas berswafoto bersama untuk mengabadikan momen. Bagi saya foto dalam sebuah petualangan itu penting. Sebab seorang kawan Mapala (mahasiswa pecinta alam) pernah menasehati, “jangan tinggalkan apapun di gunung kecuali jejak, jangan ambil apapun di gunung kecuali gambar”. Kendati, pamer foto bukanlah tujuan utama dalam pendakian. Berfotolah seperlunya dan selebihnya nikmatilah lukisan Tuhan yang terabadikan dalam bentuk keindahan alam semesta ini.

Tidak lama setelah itu, kami berjalan kembali menuju pos 2. Dan tiba-tiba Anggi berjalan dulu ke atas. Setelah kami mengikutinya diapun berhenti untuk beristirahat di sebuah batu yang disebut-sebut sebagai watu jago. Melihat dia berhenti sayapun ikut berhenti dan tiduran dibawah pohon cemara yang begitu sejuk. Setelah kami ingin melanjutkan perjalan, kami dikagetkan dengan hilangnya Anggi. Dan setelah itu keganjilanpun dimulai. Saya mencoba menengok ke bawah batu yang lumayan jurang. Tidak ada, saya mencoba berpikir positif dan meyakinkan rombongan bahwa Anggi kemungkina besar sudah naik ke Pos 2. Ardi mencoba memanggil-manggil Anggi dengan suara keras. “Nggik!!” teriaknya. Tak ada jawaban, yang ada hanya hening. Fifi mulai panik, bahkan sampai ingin balik ke basecamp untuk melaporkan Anggi.

Sebagai leader aku mencoba untuk menangkan suasana. Meyakinkan mereka bahwa Anggi pasti berhenti dan menunggu di pos 2. Sesampai di pos 2 kami tak mendapati si Anggi. Sebenernya dalam hati saya disitu juga mulai panik, walaupun saya mencoba untuk terlihat biasa-biasa saja. Beberapa pendaki saya tanyai tentang apakah bertemu dengan Anggi sembari menyebutkan foto dan ciri-cirinya. Bahkan saya dan Fifi juga menanyai Ita, gadis manis yang kami ajak foto sebelumnya. Sebab kami lebih dulu berangkat daripada dia. Diapun menjawab tidak tahu. Hampir satu jam kami berlalu lalang di pos dua, untuk memastikan keberadaan kawang saya, Anggi. Setelah berdiskusi, kami memutuskan untuk melanjutkan ke pos 3. Saya lagi-lagi mencoba berpikir positif dan meyakinkan rombongan. Bahwa Anggi baik-baik saja.

Selama perjalanan Fifi tak henti-hentinya mengumpat Anggi, “Oh, awas arek iki lek ketemu!” (Oh awas kalau ketemu anaknya!) ancamnya dengan muka cemberut. Berkali-kali saya dan Fifi mencoba menghubunginya lewat SMS dan telpon yang terkadang sinyal di sana masih nyantol. Tapi karena sinyal yang lemah menjadikan kami sangat sulit untuk menghubunginya. Sesampai di Pos 3, lagi-lagi kami tak mendapati muka Anggi. Kemana gerangan anak ini. Tapi saya tak berputus saya. Satu pesan saya kirim lewat SMS berharap mendapat keajaiban akan kabar Anggi. 

Tinggg... ada pesan masuk. “Tak tunggu di warung mbok yem,” balasnya singkat. Sontak membuat kami bersyukur karena mendapati kabar dia baik-baik saja. Namun karena ulahnya yang membuat kita bertiga khawatir setengah mati, membuatku sedikit marah dengannya karena tidak mengabari dulu kalau misal mau berangkat dulu. Sebagai seorang leader dalam rombongan pendakian akulah yang mesti bertanggung jawab jika terjadi apa-apa dengan tim. Setelah itu ku kirimkan satu pesan dengan nada agak marah ke Anggi.

Ojok ngawur bro..! Tunggu di pos 4 aja. Kita ini lagi bingung cari kamu, tenda di kamu, headlamp di kamu, logistik. Pliss jangan egoislah. Kita berangkat bareng-bareng, pulang juga bareng!” balasku kesal.

Tak ada balasan, mungkin sinyalnya lenyap lagi di antara kabut sore yang mulai menghampiri. Kuceritakan balasan SMS-nya kepada Ardi dan Fifi, mereka saling saut menyaut mengumpatinya. Fifi terutama,“Oh... Dasar Anggi. Hati-hati ya kalau ketemu.” Ancamnya ke sekian kalinya.

Keindahan awan sudah terlihat di pos 3. Membius mata akan ke indahan panorama Lawu sore itu. Rasa kesal dan marah karena ulah Anggipun sedikit mereda seiring dengan dimanjakannya mata kami akan kebesaran ciptaan-Nya. Sehabis berfoto-foto dan membuat video singkat, kamipun melajutkan perjalanan.

Di tengah perjalanan menuju pos 4 yang bisa dibilang treknya lumayan terjal, walaupun jalannya sudah lumayan tertata rapi dengan bebatuan yang di pasang sepanjang jalan. Fifi mengeluhkan bahwa dia sudah tak sanggup lagi berjalan. Saya terus menyemangatinya. Sementara hari sudah kian sore, dan dari kami bertiga hanya saya yang membawa headlamp. Headlamp yang lain di tas carrier yang dibawa Anggi, logistik makanan bahkan tenda juga dibawanya. Berhubung siang itu kami belum makan, mungkin perut kami juga lumayan lapar. Meringkih-ringkih meminta untuk di isi bahan bakar makanan.

Bersyukur, untungnya saya masih membawa beberapa snack yang bisa dimakan untuk mengganjal perut. Saya keluarkan roti untuk dimakan bersama. Tatkala kami melanjutkan perjalan lagi, Fifi berhenti dan mengeluh lagi bahwa dia sudah tak sanggup naik. Kali ini lebih parah, dia merasa kedingianan. Buru-buru jaket yang semula tidak di kancing, aku minta untuk mengancingnya. Ku kasih lagi sisa roti yang tadi untuk dimakan lagi sembari berdoa agar semua baik-baik saja. Dia menangis, akupun coba untuk menenangkanya. Bersama Ardi kami bergantian menuntunnya pelan-pelan untuk naik, berharap pos 4 sudah dekat.

Saya sebenarnya sudah khawatir, kalau jangan-jangan Fifi terkena Hipo. Tatkala kami mendapat kabar dari pendaki lain bahwa pos 4 sudah dekat. Saya senang bukan main, saya memutuskan untuk mengajak tim menuju pos 4 karena jaraknya lebih dekat daripada kami harus kembali lagi ke pos sebelumnya karena kekhawatiran akan kondisi Fifi. Sesampainya di pos 4, saya mengajak Ardi untuk mencari kayu-kayu kering untuk kemudian dibuat api unggun. Ketika Api unggun sudah menyala, buru-buru Fifi saya minta untuk menghangatkan badan. Wajahnya yang semula terlihat pucat, kini sudah lumayan ceria lagi walaupun di satu sisi masih tampak lesu. Mungkin salah satu penyebabnya adalah lapar.

Dipos 4 kami lumayan terhibur dengan kedatangan dua pendaki cilik. Gadis-gadis kecil itu lucu, imut sekaligus mengagumkan kami yang diusianya masih kisaran 7-8 tahun sudah mendaki salah satu gunung seven summit of java, Lawu. Tentunya dengan didampingi sama orang tuanya.

“Meraka masih bocil tapi sudah ikutan mendaki Lawu Fi, masak kamu yang sudah besar kalah!” celetuk Ardi, mengejek Fifi. Saya hanya tersenyum, Fifipun demikian. Tak lama kemudian, tiba-tiba Anggi tampak datang dari atas menghampiri kami. Mata kamipun seketika terfokus kepadanya.

“Koen nyandi ae cuk!!” bentak saya sambil menamparnya. Tidak keras, bukan fisiknya yang ingin kutampar namun hatinya. Sejenak kemudian aku terdiam menahan amarah. Ardi melanjutkan pembicaraan. Saya meninggalkannya untuk buang air kecil. Dan Fifi tampak berbincang dengan Anggi dan menamparnya lagi. Sebetulnya saya tidak enak hati memperlakukan teman sendiri seperti itu. Namun, saya tak ada cara lain untuk menyadarkannya. Lebih baik tangan saya yang bicara daripada mulut banyak cakap. Toh katanya, mulut lebih tajam daripada senjata. Mulutmu Harimaumu, begitu katanya.

Selepas waktu maghrib, kamipun melanjutkan perjalan menuju pos 5. Trek perjalanan dari pos 4 menuju pos 5 memang lumayan landai daripada pos 3 ke pos 4. Saat menemukan jalur pendakian yang landai saat penjalanan, kami biasanya menyebutnya itu “bonus”. Namun, kali ini sedikit berbeda. Aku memulai untuk menggendong si Fifi karena dia sudah tidak begitu kuat. Setengah perjalanan, rasanya sangat memeberatkan pundak. Ardi menggantikannya sampai pos 5. Di pos 5, kamipun berhenti sebentar. Fifi mengeluh lagi. Kali ini dia benar-benar sudah merasa kedinginan, dia menangis. Padahal jarak ke warung yang buka di sendang derajat masih 15 menitan lagi.

“Udah nggak kuat mas..,” Keluh Fifi sambil terisak tangis. Sayapun sebenarnya sangat kasihan melihat kondisinya. Tapi kami bingung, tenda dan logistik ada di Carrier Anggi yang dititipkan di Warung Sendang Drajat. Terbesit dipikiran untuk menitipkan Fifi di Tenda pendaki lain yang mendirikan tenda di situ. Tapi dengan berbagai pertimbangan akhirnya kamipun mencoba untuk membawanya ke Warung saja. Selain di warung juga sudah pasti tersedia api unggun untuk memasak, di sana juga kalau misal ingin beli makanan dan teh hangat bisa langsung pesan.

“Ayo Fii... sini aku gendong aja,” ajak Anggi pada Fifi. Semenjak sampai di Pos 5, Anggi memang terlihat yang paling perhatian sama kondisi Fifi. Mungkin dia merasa bersalah atas kejadian menghilangkan diri dari tim kami sebelumnya. Setelah berjalan beberapa menit. Anggi terlihat terhuyung-huyung menahan berat badan Fifi yang tidak terlalu besar. Ya, sekecil-kecilnya orang kalau sudah digendong saat mendaki Gunung sudah pasti akan sangat menyiksa punggung. Akhirnya kami berhenti sejenak.

Tatkala hari sudah semakin malam, hawa dingin Lawupun tak kalah ganasnya menerjang kami. Angin yang berhembus di lembah yang kami lewati menambah hawa dingin semakin menusuk. Fifi tampak mengginggil. Tiba-tiba kami didatangi beberapa pendaki yang hendak menuju sendang drajat juga. Bersyukur, mereka menawari bantuan untuk membawakan tas kecil yang di bawa Ardi. Salah satu dari laki-laki pendaki itu meminta kami untuk membungkus saja Fifi dengan sleeping bag dan menggotongnya berdua sampai warung. Untungnya ada 2 sleeping Sleeping bag di dalam tas carrier-ku yang bisa dipakai. Tas Fifi saya bawa, sementara Anggi dan Ardi bersama-sama menggendong Fifi.

Dalam keadaan seperti itu, saya tak henti-hentinya berdoa dalam hati untuk keselamatan Fifi. Ketika kami melihat ada lampu-lampu yang menyala di depan serta riuhnya pendaki yang mendirikan tenda di sekitar warung Sendang drajat, kami sangat bersyukur. Beberapa pendaki menghampiri kami, setelah tahu bahwa teman kami Fifi terkena Hipothermia ringan, mereka segera bahu membahu ikut membawa Fifi ke dalam Warung dan mendekatkan dengan sumber Api yang dibuat untuk memasak penjaga warung.

Saya kemudian memesankannya teh dan nasi. Dari kejadian itu saya menyadari betapa banyaknya pelajaran berharga kala itu. Tentang bagaimana menangani pendaki yang terkena Hipo yang kebetulan waktu itu juga dibantu oleh seorang bapak-bapak, dan juga tentang betapa pentingnya solidaritas antar pendaki. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau kita di gunung yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan ini saling acuh tak acuh terhadap sesama. Disitulah kami merasa mendapatkan keluarga baru, meskipun baru mengenalnya.

Setelah mengisi perut dengan nasi pecel kamipun memutuskan untuk menginap saja di warung tersebut. Alhamdulilla atas kuasa Tuhan Fifi malam itu masih bisa terselamatkan. Anggi semenjak itu tak henti-hentinya menjaga Fifi dan memperlakukannya bak seorang Putri raja. Bahkan, keeosokan harinya tatkala saya dan Ardi mau muncak, Anggi dengan rela untuk tetap menjaga Fifi. “Kalian aja yang muncak, biar aku sama Fifi.” Pintanya.

“Fotoin sunrise-nya ya mas,” pinta Fifi. Yang kemudian saya jawab dengan anggukan dan senyuman. Kala itu saya dan Ardi sebenarnya sudah ketinggalan sunrise sebab terlalu bersantai di dalam warung. Hingga pada akhirnya sang surya pagi mulai muncul kami baru keluar dari sarang. Ah, sialnya aku. Sudah capek-capek naik ke puncak tidak menjumpai Sunrise. Berbekal kamera Canon DSLR yang lumayan memberatkan pundak ketika saya bawa muncak, sang surya pagipun bisa ambil foto layaknya sunrise. Terimakasih Canon.



Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai puncak, dari sendang drajat ke puncak kami berjalan hanya 15 menitan sudah sampai di puncak Hargo dumilah. Puncak Hargo Dumilah adalah puncak tertinggi gunung lawu dengan ketinggian 3.265 MDPL (Meter Di atas Permukaan Laut). Sebenarnya di Lawu memilik tiga pucak, yakni Hargo Dalem, Hargo Dumiling, dan puncak tertinggi bernama Hargo Dumilah. Di puncak Hargo Dumilah juga terdapat tugu petanda yang biasa dibuat pendaki untuk berfoto ria di sana. Disana, para pedaki tampak sedang asyik menikmati puncak lawu di bawah hangatnya sang surya dan indahnya lautan awan. Ternyata beginilah Lawu, cantik sekali.

Sehabis mengambil gambar dan menikmati suasana puncak lawu dengan segala keindahannya, saya dan Ardipun kembali ke warung sendang drajat untuk menikmat pecel di atas ketinggian. Tatkala sudah sampai di dekat warung kulihat Fifi yang ditemani Anggi sedari malam. Mereka sedang makan di bawah teriknya matahari pagi menjelang siang itu. Kitapun menghampirinya, dan tiba-tiba saja Anggi berjabat tangan dan memelukku lalu meminta maaf atas kesalahan yang ia perbuat kemaren. Saya dan Ardipun dengan senang hati memaafkannya. Kemudian saya jelaskan kenapa kemaren saya jengkel dan marah dengannya. “Lain kali jangan gitu ya bro.. kita ini kan satu tim. Jangan pernah terpencar gimanapun keadaannya, puncak dalam pendakian itu kan hanya bonus, tujuan utama kita mendaki adalah pulang dengan selamat,” ucap saya pelan kepadanya. Diapun mengangguk, tanda menerima kata-kata saya.

Rencana awal saya dan Ardi yang ingin mengajak Fifi dan Anggi untuk turun jam 10 pagi harus kami tunda lantaran mereka berdua tak kunjung balik ke warung tempat kami menginap semalam. Berhubung badan lumayan capek saat kita summit pagi hari tadi, saya dan Ardi memutuskan untuk tidur terlebih dahulu sembari menunggu Anggi dan Fifi kembali. Baru pada Pukul 1 siang kamipun memutuskan untuk kembali turun ke basecamp untuk kemudian pulang ke rumah. Fifi yang sedari kemaren memasang wajah pucat, kini saat perjalan pulang kembali ceria. Nalurinya sebagai cewek yang suka fotopun saya iyakan saja untuk memfotonya ketika minta untuk difotokan. Tak apa-apa yang penting teman saya itu senang.

Nesting yang sedari kemaren belum ke pakai, akhirnya siang itu baru kepakai ketika kami sampai di pos 4. Kami memasak mie goreng dan melahapnya untuk menambah energi turun ke bawah. Sebenarnya makan mie di gunung tidak disarankan, sebab kandungan kalori dan karbohidrat mie instan termasuk sedikit dibandingkan makan nasi. Namun, berhubung kami lupa untuk membawa beras dan sudah terlalu lapar. Kami putuskan untuk memasak mie instan saja. Setelah berhenti sekitar satu jam untuk makan siang, kamipun melanjutkan perjalan turun.  

Fajar kian melahap. Ketika kami sampai di pos 2, kami putuskan untuk berhenti sejenak menunggu waktu sholat maghrib usai. Konon, apabila kita sedang melakukan pendakian yang mana waktu sudah lepas dari jam 5 sore, kita tidak dianjurkan untuk melanjutkan perjalanan sampai menjelang waktu sholat isyak. Jika ada yang melanggarnya, bisa saja kita tersesat saat perjalan. Atau mendapati kejadian yang di luar dugaan. Daripada terjadi apa-apa maka kami putuskan untuk berhenti sejenak, menikmati sebatang rokok yang sedari kemarin baru sempat aku rokok sore hari itu.

Rokok saat pendakian bagi saya hanya untuk menghangatkan tubuh saja dan biar tidak dikerubungi nyamuk. Selebihnya untuk bersosialisai dengan orang lain saja. Bukankah lebih baik menyalakan rokok, daripada menyulutkan api kebencian terhadap sesama. He. Sebetulnya saya tidak terlalu suka dengan rokok. Kadang-kadang saja, untuk menegaskan bahwa saya bukanlah termasuk golongan yang mengharamkan rokok.

Sehabis usai waktu sholat magrib, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalan turun. Ketika perjalanan antara pos 2 ke pos 1 pengalaman yang menurut saya agak mistispun menghampiri kami. Kebetulan waktu itu saya berjalan di depan, saya melihat sekitar jarak 10 meter di depan saya ada cahaya merah bak lampu emergency headlamp. Saya mencoba untuk berpikir positif kalau itu adalah pendaki. Namun karena rasa penasaran, saya coba mendekatinya. Dan tiba-tiba cahaya merah yang saya kira adalah pendaki itu hilang bagai ditelan bumi. Saya hanya mampu beristighfar dalam hati, karena sedikit rasa takut. Sembari berdoa kepada Tuhan, saya tetap melanjutkan perjalanan tanpa bercerita apa yang saya lihat barusan ke teman-teman saya yang di belakang. Takut saja membuat mereka tambah khawatir dan takut.

Memang benar, manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan. Ardi mulai mengeluhkan kakinya sakit sepenjang perjalan ke pos 1, beberapa saat kemudian sayapun merasakan demikian. Niat awal kami yang ingin nge-camp di dekat basecamp terpaksa harus sedikit kami rubah planning-nya. Kami malam itu memutuskan untuk ngecamp saja di pos 1, beristirahat untuk kemudian besuk melanjutkan turun. Setelah kami mendirikan tenda, kami sempat berbincang dengan beberapa pendaki senior yang juga nge-camp di atas dekat tenda kami. Api unggun yang dibuat beberapa pendaki itu membuat badan kami sedikit terhangatkan. Terlebih ketika meraka yang tampak sudah sedikit tua itu bercerita tentang pengalamannya mendaki dan berkelana. Salah satu dari mereka pernah mendaki digunung selama satu bulan, menjadi survivor dan bertahan hidup diantara belantara gunung Lawu.

Malam harinya ketika kami beranjak tidur. Saya merasakan hal aneh yang membuat saya susah untuk tidur sampai tengah malam. Saya berkali-kali ketindihan (penampakan hantu saat tidur). Saya merasa di luar itu seakan ada yang mengitari tenda kami. Dan saat saya ketindihan beberapa saat kemudian seperti ada harimau yang menerkam dan menggeret kaki saya. Sontak saya coba untuk membacakannya ayat kursi dan akhirnya harimau itupun pergi. Entah itu memang benar hantu atau bukan, saya tidak ingin memperdebatkannya. Tapi memang Lawu terkenal dengan hal-hal mistisnya sebab yang datang ke Lawu bukan hanya murni untuk mendaki seperti kami. Namun banyak juga  yang katanya ingin menjajal pengalaman spiritualnya bahkan konon sampai dibuat tempat pesugihan.

Keesokan harinya setelah kami memasak mie lagi untuk dibuat sarapan (mie lagi mie lagi hufft!) kami melanjutkan perjalan turun. Sesampainya di basecamp, kami langsung mandi di kamar mandi di sekitar basecamp dan sholat dhuhur di mushola. Setengah jam beralu, kamipun berpamitan dengan bang Udin penjaga basecamp Cemoro Sewu yang kami kenal saat dua hari yang lalu sebelum naik ke puncak. Kami sehabis itu sepakat untuk berhenti dan mencari makan di sekitar telaga sarangan.

Telaga Sarangan juga dikenal sebagai Telaga Pasir. Telaga ini berada diketinggian 1.200 MDPL dan terletak di lereng Gunung Lawu, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan. Tapi kami tidak sempat untuk mampir di tempat wisatanya. Hanya kebetulan dipinggir jalan ada warung-warung makan yang bisa melihat keindahan telaga dari kejauhan kami memutuskan untuk makan disitu sembari melihat telaga.



Lawu telah memberikan banyak kenangan dan pengalaman yang berharga bagi kami. Rintangan dan halangan saat mendaki seakan menjadi miniatur suka duka kehidupan kita di dunia. Keindahan alam memang tersembunyi di balik jalan yang terjal dan penuh rintangan. Pun sama dengan surga-Nya kelak. Namun, yang terpenting adalah jangan putus asa, tetaplah bergerak dengan menghadapi masalah tersebut. Bukannya malah menjauhinya. Sebab, masalah yang Tuhan berikan kepada kita pastilah sesuai dengan kadar kemampuan kita. Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa. (QS.Al-Baqarah: 286).

Salam Lestari...!!!

Salam Literasi...!!!



Surabaya, 10 September 2020 || Budi Setiawan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kamis, 21 Mei 2020

MENABUNG RINDU UNTUK INDONESIAKU


[ JJB Ke #35, Series: #LiterasiLawanPandemi ]

Jangan dulu mudik lebaran
Tunggu sampai semua aman
Walau rindu kampung halaman
Bulan Ramadhan di rumah aja...
(Lirik lagu “Jangan Mudik”-Radja)

Sumber Gambar: Ayobandung.com


Adalah sebuah musik, salah satu dari sekian hal yang bisa menjadi obat penenang untuk memperbaiki suasana hati. Setidaknya itulah yang diungkapkan oleh para ilmuwan dari University of Missouri, Kolombia. Sejalan dengan itu, beberapa musisi Indonesiapun menciptakan lagu yang berisi himbauan untuk tidak mudik di saat musim pandemi covid-19 ini. Sebut saja, Radja band dengan lagu “jangan mudik” nya, Harry Yamba dengan lagu “Ra Mudik Rapopo”-nya, Didi Kempot dengan lagu “Ora Bisa Mulih” dan “Ojo Mudik”-nya dan lain-lain. Tidak tanggung-tanggung, beberapa lagu tersebut bahkan sampai dicover atau dinyanyikan oleh para menteri dan pejabat negara.

Lagu tersebut tercipta bukan hanya sebagai kampanye himbauan agar masyarakat tidak mudik, tetapi juga termasuk mewakili suasana batin masyarakat Indonesia yang tidak bisa mudik lebaran sebab adanya pandemi ini. Lagu ‘Ora Biso Mulih’ misalnya, lagu ini secara lirik bisa dibilang sederhana namun sangat menyentuh sanubari setiap insan manusia yang patah hati akibat rindu keluarga di kampung halaman tapi tidak bisa pulang akibat satu dan lain hal. Musabab peraturan pemerintah yang melarang untuk mudik demi memutus mata-rantai penularan virus korona ini misalnya.

“Tapi akukan sudah rindu sama kampung halaman, rindu bunda, rindu ayah, rindu adik, rindu istri, rindu kakek, rindu nenek. Aku sudah sangat rindu dengan semua yang ada di sana, aku sudah tidak sabar ingin bertemu mereka,” begitulah ego diri dalam mencari sebuah pembenaran. Dalam hal ini, mungkin kita sepakat bahwa sebagai warga perantauan kita punya perasaan yang sama soal rindu kampung halaman. Terlebih bagi perantau yang biasanya hanya bisa mudik setahun sekali ketika libur hari raya,  saat ini harus ditunda sebab adanya pandemi. Ya, mau tidak mau kita harus rela “menabung rindu” dulu untuk sementara waktu.

Menabung rindu sampai semua aman. Sebab, rasa cinta kita terhadap keluarga tidak mesti dimanifestasikan dengan kita bertemu saat lebaran saja. Bila bertemu justru akan memicu penyebaran penyakit ke orang tercinta, apakah itu masih layak disebut cinta? Saya rasa jawabannya adalah tidak. Toh, jika nanti semua sudah aman kita masih bisa untuk pulang ke kampung halaman kan? Tidak mudik bukan berarti kita tidak sayang dengan keluarga, dengan tidak mudik kita tunjukkan rasa sayang dengan cara yang berbeda.

Gambar: Foto keluarga di kampung halaman.


Beberapa hari yang lalu sempat terjadi viral di media sosial sebuah postingan yang menunjukkan  keramain di tengah pandemi. Hal tersebut menuai kecaman dan kontroversi di jagad maya. Sebab jelas-jelas dengan adanya keramaian itu beberapa masyarakat dinilai tak mengindahkan anjuran untuk physical distancing atau menjaga jarak saat pemberlakuan PSBB ini. Sebut saja contohnya padatnya antrian penumpang maskapai di Bandara Soekarno Hatta (13/05/2020), padatnya antrian penumpang kapal di Gilimanuk (17/05/2020) dan masih ada beberapa lagi. Hal ini sudah pasti menimbulkan kekecewaan masyarakat yang sampai saat ini masih konsisten untuk tetap mengindahkan anjuran physical distancing. Masyarakat yang masih optimis bahwa pandemi ini dapat segera berlalu jika kita mau bersatu untuk bersama-sama melawannya.

Hastag #IndonesiaTerserah dan #TerserahIndonesia pun menyusul viral di dunia maya. Hal ini ditengarai dengan kekecewaan para tenaga medis yang kita tahu mereka adalah barisan garda terdepan dalam penanganan korban covid-19 ini. Menurut saya wajar mereka kecewa dan menunjukkan kekesalannya di dunia maya akibat ulah warga yang tak patuh terhadap peraturan PSBB. Pun dengan imbas kebijakan pemerintah yang membuka kembali mode transportasi umum di saat pandemi. Kendati, kebijakan itu diambil untuk menyelamatkan perekonomian dan hanya orang-orang berkebutuhan khusus saja yang diperbolehkan naik transportasi tersebut, tetap saja itu dinilai akan membuat bingung petugas di lapangan dan pemerintah daerah dalam melaksanakan aturan PSBB.

Tak hanya itu, Najwa Shihab dalam program Catatan Najwa-nya lewat unggahan di Youtube dan akun Instagram-nya juga membuat konten berjudul “Kita Tidak Sia-Sia #dirumahaja” sebagai respon terhadap keresahan masyarakat tersebut. Di dalam narasinya Najwa Shihab juga membacakan beberapa pesan dari tenaga medis yang dikirim kepadanya. Berikut adalah salah satu pesan dari seorang perawat atas nama @syafakirthe :

“Percuma kayaknya kita di sini, pakai APD selama 8 jam, menahan semuanya selama 8 jam termasuk BAK dan BAB, buka puasa terkadang jam 8 malam, sahur jam 2 pagi. Pemerintah menganjurkan jaga jarak, pakai masker dan tidak mudik tapi kalian malah mengabaikan anjuran tersebut. Jangan puji kami di dunia sosial media, tapi di dunia nyata kalian berkeliaran serta pulang kampung seolah-olah baik saja,” keluhnya.

Sebagai manusia biasa, sebenarnya sah-sah saja jika kita merasa kecewa dengan hal tersebut. Tapi itu semua itu jangan sampai melunturkan niat nan tekad kita dalam memerangi dan memutus rantai persebaran virus covid-19 ini. Seperti pesan mbak Nana dalam videonya, ”pandemi ini adalah problem yang hanya bisa ditangani secara kolektif, perlu kontribusi semua orang. Makanya perlu menyadari bahwa ini bukan hanya untuk demi sendiri saja namun juga demi orang lain. Kita melakukan ini untuk para tenaga medis yang sudah bertaruh nyawa. Untuk para karyawan yang sudah dirumahkan berminggu-minggu. Untuk para pengusaha yang terpaksa menutup usahanya dan untuk bangsa-negara yang sudah merugi sangat banyak.”

Tak ada yang sia-sia memang jika kita melakukan ini semua demi orang-orang yang kita sayangi. Tetaplah konsisten dengan jalanmu kawan. Bulatkan tekadmu, tunda mudik, tetap jalankan physical distancing, kenakan protokol kesehatan saat keluar rumah dan yang paling penting sebisa mungkin usahakan untuk #diRumahAja. Together We Can Do It! Dan bagi kaum muslim mari kita ingat sabda beliau Nabi di bawah ini:

“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu”-(HR.Bukhori).

Sidoarjo, 21 Mei 2020 || Budi Setiawan



Senin, 18 Mei 2020

Bijak Bermedia, Kritis di Era Krisis


[ JJB ke #34, Series: #LiterasiLawanPandemi ]





Belakangan, sebenarnya saya sudah agak malas membicarakan soal media. Bukan sebab saya sudah nggak aktif lagi di pers mahasiswa, akan tetapi saya sudah menginjak pada tangga kecewa sebab kenapa kok justru konten-konten yang bermuatan negatif yang banyak menjadi trending belakangan ini. Sementara konten-konten yang bermuatan positif, inspiratif dan mengedukasi justru sebaliknya. Kebayang nggak sih, sebetulnya bagaimana algoritma media itu bekerja sehingga hal di itu bisa terjadi?

Tidak munafik! Saya sendiri mungkin menjadi salah satu bagian dari jutaan pemirsa pengkonsumsi konten negatif tersebut. Walaupun disatu sisi hati saya berontak menolaknya. Instagram misalnya, dari sekian banyak postingan yang bernilai positif, postingan negatif masih merajainya. Mulai dari tersebarnya berita hoax soal telur rebus obat korona, hebohnya aksi kelulusan anak SMA di Riau, pembulyan bocah penjual jalangkote, hingga goyangan sexy “mama muda” ala tik tok. Sealim-alimnya cowok kalau liat goyangan mama muda, ya pada akhirnya akan ikut goyang juga keles..!!!

Sejujurnya tulisan ini bermula ketika seorang teman mantan sesama pengurus persma dulu Wa saya dan meminta untuk share info gimana cara mendapatkan jodoh menyaring info yang sifatnya hoax. Dia merasa resah ketika di lingkungan rumahnya barusan terdengar desas-desus ada yang positif korona, akhirnya semua pada heboh bikin status a, b, c. Dan ternyata setelah diketahui beritanya itu nggak benar alias hoax. “Ngilu rasanya gigiku dengar dan bacanya mas,” sambatnya.

Oke, kita mulai pembahasannya. Dahulu kala ketika saya masih memimpin rezim UKM Jurnalistik Mahardhika pernah membuat workshop jurnalistik dengan “Bijak Bermedia, Kritis di Era Krisis”. Saat itu saudara Vais Lubis dari Redaktur Online yang mengusulkan temanya. Tema yang menurut saya waktu itu lumayan keren. Namun tempo hari saya berpikir, “sepertinya tema ini justru sangat relevan untuk kondisi krisis seperti ini ya.” Disaat terjadinya krisis akibat pandemi ini semestinya memang kita harus bisa bersikap dan berpikir kritis. Tidak hanya kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat,  bagaimana menyelamatkan masalah ekonomi agar tetap bisa bertahan hidup pun dengan pemberitaan masalah korona di media.

Semua itu tak luput dari bagaimana kita untuk menyikapinya dengan cara berpikir kritis. Sehingga pada akhirnya, perilaku “bijak bermedia” lah yang akan menjadi implikasinya. Berbicara masalah kabar palsu atau hoax seputar korona, sudah ada sekitar 556 berita hoax yang beredar menurut data dari Kementerian dan Informatika. Melangsir info dari Detiknews (18 April 2020). Angka yang sungguh fantastis, itu belum termasuk ditambah data hoax yang terjadi pada bulan Mei ini. Lalu bagaimana cara kita menangkalnya?

Terdapat dua langkah yang bisa dilakukan menurut presidium Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) Harry Sufehmi. Karena  mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, upaya menangkal berita hoax itu sebenarnya sudah terdapat dalam ilmu hadis. Jadi sejak pada zaman dahulu sudah ada namanya hoax berupa hadis dhoif (bohong) sehingga akhirnya para ‘ulama membuat ilmu hadist. Dua langkah untuk mendeteksi hoax itu dasarnya simpel yaitu dengan melihat  Sanad dan Matan. Sanad adalah sumber berita dan matan adalah kontennya.

a. Perhatikan Sanad atau Sumber Beritanya
Hal pertama yang perlu kita lakukan untuk menepis info hoax seputar virus korona adalah dengan melihat sumber dari berita yang beredar tersebut. Apabila info yang kita terima itu tidak jelas sumbernya dari mana, sebaiknya kita abaikan saja informasi tersebut. Skipp ajalah, tidak perlu pusing-pusing dengan berita yang tidak jelas sumbernya.

b. Perhatikan Matan atau Kontennya

Lalu menganai Matan atau kontennya, isi dari beritanya ini kira-kira ada yang aneh nggak. Aneh di sini maksudnya adalah ketika berita itu dibaca kita spontan langsung merasa emosi, langsung marah atau gusar, merasa takut dan berlawanan dengan info yang kita dapatkan di media massa yang kredible  seperti media Tempo, Liputan6.com, Jawapos, Detik.com dan media lain yang terverifikasi oleh Dewan Pers. Maka jika begitu beritanya bisa kita anggap hoax hingga terbukti kebenarannya.

Memerangi berita hoax dan konten negatif adalah tugas semua masyarakat. Kendati berselancar di media sosial (instagram, facebook, twitter), whatshapp dan youtube menjadi suatu rutinitas kaum milenial di saat senggang tapi kita harus juga bijak dalam menyikapinya. Media sosial layaknya mimbar bebas, begitu banyaknya yang sekedar menunjukkan eksistensi diri, beropini dan bahkan sebagai tempat meluapkan emosi, kekecewaan ataupun kegembiraan. Hingga tak ada aturan baku mengenai cara berperilaku bijak di media sosial tersebut.

Syahdan, kita sendiri yang harus bisa mengontrolnnya dan membuat batasan atas perilaku bijak tersebut. Dan jangan lupa belakangan pemerintah juga membuat UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang bisa mempidanakan pelanggarnya. Terlepas dari pro dan kontra terhadap kebijakan UU ITE itu, demi kebaikan bersama ada baiknya kita juga harus memperhatikan norma-norma yang berlaku ketika sedang mengakses dan berselancar di media sosial. Sebab, masing-masing dari kita adalah “konten kreator” yang akan mempertanggungjawabkan dari postingan-postingan kita.

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu informasi, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS.Al-Hujaraat:6)

Sidoarjo, 18 Mei 2020 || Budi Setiawan





Senin, 27 April 2020

LAHIRNYA VENTILATOR KARYA ANAK BANGSA


[JJB ke #33, Series:#LiterasiLawanPandemi]

“Nilai akhir dari proses pendidikan, sejatinya terekapitulasi dari keberhasilannya menciptakan perubahan pada dirinya dan lingkungannya. Itulah fungsi daripada pendidikan yang sesungguhnya.”

-Lenang Manggala (Founder Gerakan Menulis Buku Indonesia)

Benar adanya, apabila disebutkan bahwa fungsi dari pendidikan yang sesungguhnya adalah menciptakan perubahan pada diri dan lingkungannya seperti yang diungkapkan oleh mas Lenang Manggala di atas. “Agent of change” begitu kawan-kawan mahasiswa menyebutnya. Sejalan dengan hal tersebut, YPM Salman bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Padjadjaran (UNPAD) berusaha mewujudkannya dengan aksi nyata berkarya. Terbukti pada tanggal 21 April 2020 kemaren, Ventilator portabel CPAP, Vent-I yang merupakan hasil produk kerjasama telah lolos uji produk oleh Balai Pengamanan Fasillitas Kesehatan (BPFK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Sumber Foto: Grid.id

Seperti yang telah dilangsir dilaman resminya ITB, Ventilator ini dinisiasi pengembangannya oleh Dr.Syarif Hidayat, Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) dari Kelompok Keahlian Ketenagalistrikan ITB, didukung oleh beberapa Dosen dan mahasiswa Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantra (FTMD) dan Desain Produk, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD). Vent-I adalah alat bantu pernapasan bagi pasien yang masih dapat bernafas sendiri (jika pasien COVID-19 pada gejala klinis tahap 2), bukan diperuntukkan bagi pasien ICU. Katanya ventilator tersebut diklaim  dapat digunakan dengan mudah oleh tenaga medis.

Dengan kian banyaknya kebutuhan Ventilator untuk pasien COVID-19 di Indonesia, Vent-I ini diharapkan mampu untuk membantu mencukupi kebutuhan tersebut. Vent-I ini akan diproduksi untuk kebutuhan sosial, artinya Vent-I akan dibagikan secara gratis kepada rumah sakit yang membutuhkan. Menurut Ir.Hari Thahjono, MBA., Selaku tim Komunikasi Publik dari pengembangan Vent-I dalam rilisnya mengatakan, “Vent-I ini akan diproduksi sekitar 300-500 sesuai dengan jumlah donasi yang masuk ke Rumah Amal Salman. Produksi tahap pertama dimulai begitu lolos uji pada tanggal 21 kemaren, dan akan diproduksi melalui kerjasama dengan PT DI,” ujarnya.

Kendati di satu sisi, menurut kabar yang beredar di media, Indonesia akan mendapatkan bantuan ventilator dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Tapi di sisi lain kita tidak bisa sepenuhnya menggantungkan harapan kepada negara lain. Dengan aksi nyata yang dilakukan oleh tim pengembang Vent-I di atas setidaknya akan bisa memicu dan menginspiasi para pemuda Indonesia lain agar lebih semangat dalam berkarya. Mereka dengan karyanya seakan ingin meneriakkan kepada bangsa ini dan dunia, bahwa Indonesia itu “mampu”.

Dalam wawancaranya bersama VOA (Voice Of America), Dr.Syarif Hidayat dengan semangatnya berkata, “saya memilih mati dalam keadaan berdiri, daripada mati dalam keadaan memeluk lutut”.  Artinya kurang lebih yang ingin beliau sampaikan adalah jangan sampai kita hanya pasrah dengan keadaan dan sebatas berpangku tangan menunggu keajaiban. Tapi ciptakanlah keajabaiban itu. Dengan cara apa? Dengan cara berusaha menjadi yang terbaik bagi sesama. Sebab, seperti pesan Rasulullah “Sebaik-baik manusia adalah paling yang bermanfaat bagi sesama”.

Menjadi pribadi yang bermanfaat bisa diibaratkan seperti menanam kebaikan untuk diri sendiri. Selayaknya orang yang menanam, suatu saat kita juga akan memanennya. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Isra ayat 7:

“Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri.”

Seperti yang telah kita ketahui bersama, tim medis sudah menjadi garda terdepan dalam menangani pasien covid-19. Pak Syarif dengan tim kerjasamanya sudah menciptakan ventilator karya anak bangsa. Lalu, bagaimana dengan kita? Siapkah kita menjadi barisan pahlawan covid-19 selanjutnya? Semoga saja cita-cita luhur itu tidak hanya sebatas bertengger di angan.

Sidoarjo, 27 April 2020 || Budi Setiawan

Kamis, 23 April 2020

ANTALOGI WFH (Writer From Home)

[ JJB ke #32 Series: #LiterasiLawanPandemi ]

Ditengah kemelut pandemi Covid-19, bukan sesuatu yang tabu jika kita mempertanyakan kapan berakhirnya pandemi korona ini. Phisycal Distancing memaksa kita untuk tidak melakukan aktvitas kita sewajarnya sebagai makhluk sosial. Pelarangan berkumpul dengan orang banyak, berjabat tangan bahkan sampai aktivitas ibadah di Masjid dan Gerejapun dihentikan di daerah zona merah yang terkena virus. WFH (Work From Home) menjadi salah satu himbauan pemerintah kepada kita untuk melakukan kerja dan belajar mengajar dari rumah.

Gambar: Poster Antalogi Cerita Inspiratif #diRumahAja

Menjadi hal yang wajar jika kebijakan ini juga berdampak pada psikologi sebagaian orang, merasa bosan salah satunya. Berawal dari melihat realitas yang ada tersebut, serta kurang adanya kegiatan produktif yang dilakukan mahasiswa dalam menghadapi pandemi ini. Dea dan Jahe, dua mahasiswa yang menjadi Aktivis Peneleh ini punya inisiatif untuk membuat project menulis buku antalogi bersama. Projek ini bertajuk, “Cerita Inspiratif #diRumahAja”.

Mereka bekerja sama dengan Penerbit Peneleh sebagai media untuk menerbitkan antalogi itu. Mereka mengambil tema “Cerita Inspiratif #diRumahAja” lantaran ingin membagikan cerita-serita inspiratif saat berada dirumah dari masing-masing kontibutor kepada pembaca. “Dari tema tersebut sudah jelas akan berisi cerita tentang apa saja yang penulis alami ketika menghadapi pandemi ini. Yang juga akan menjadi rekam sejarah di tahun yang akan datang”, terangnya saat saya mintai keterangan tentang projek tersebut. Hal itu tampaknya juga memantik antusias saya untuk terlibat di dalamnya. Saya pikir ini adalah kesempatan bagus, mumpung ada teman-teman yang bisa saling menyemangati dalam berkarya. Hehe.  

WFH memang bukan hanya bicara soal bagaimana semestinya kita bekerja dari rumah. Tapi juga bagaimana kita mengisi hari-hari kita untuk lebih bermanfaat. Menekuni hobi seperti misalnya menulis juga bisa menjadi jawabannya. Sebab, menulis selain untuk mengungkapkan keresahan hati kita juga bisa sebagai obat untuk meredam kepanikan diri (Self Healing). Menulis juga bisa memberikan sumbangsih ilmu dan wawasan kita kepada dunia terkait hal-hal yang mestinya diketahui. Apalagi jika tulisan itu dinilai bisa memberikan sesuatu yang bisa menginspirasi pembaca, maka itu akan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi penulisnya.

Maka disaat kondisi memaksakan kita untuk bekerja dan belajar dari rumah, WFH bukan lagi diartikan sebagai Work From Home tapi bisa bisa jadi diartikan Writer From Home bagi penulis buku antalogi seperti di atas misalnya. Antalogi adalah kumpulan karya tulis pilihan seseorang atau beberapa pengarang. Antalogi dalam hal ini bisa berupa puisi, cerpen, essay, ataupun artikel dalam bentuk lain. Dan lebih enaknya, menulis buku antalogi bisa lebih menghemat energi kita untuk menulis sebuah buku. Ya, bagaimana tidak hemat. Wong menulis satu buku saja penulisnya bisa mencapai puluhan orang. He.

Inisiasi projek antalogi ini menurutku sangat baik. Menulis bersama sembari diberi deadline pengumpulan seperti ini cukup membantu orang-orang yang punya masalah dalam hal semangat menulisnya yang dirasa kurang namun punya keinginan untuk tetap produktif menghasilkan sebuah karya. Jika tidak demikian kapan kita akan produktif sementara itu semua hanya bertengger diangan, musabab ndak pernah ada yang memberi deadline misalnya. Karena bagi pemula seperti kita, menulis harus ada punya komunitas untuk memberikan suntikan semangat jika semangat kita mulai down. Lebih-lebih sangat disarankan untuk memiliki seorang mentor. Karena seorang mentorlah nantinya yang akan membimbing, mengarahkan dan memberikan umpan balik dari setiap karya yang kita buat.

Sebetulnya, selain itu menulis antalogi juga bisa dijakan portofolio dan self branding bagi diri kita agar lebih dikenal orang lain. Tapi benefit ini bagi saya hanyalah sebuah bonus. Sebab, tujuan pertam kita menulis adalah agar sebuah gagasan yang kita tuliskan bisa memberikan kebermanfaatan bagi sesama lebih-lebih bisa berdampak positif bagi pembaca, syukur Alhamdulillah. Konon, apa yang ditulis dari hati insyaAllah juga akan sampai di hati pembaca. #SalamLiterasi

“Menulis bukan hanya menerangkai kata-kata indah namun menyampaikan gagasan. Bila kamu melakukannya dengan sepenuh hati maka yang tersentuh bukan Cuma pikiran pembaca tetapi juga hati mereka.”

-Rusdi Mathari


Sidoarjo, 23 April 2020 || Budi Setiawan