Kamis, 18 Februari 2021

KADO CINTA UNTUK IBU

 [ JJB ke #38 ]

"Datang akan pergi

Lewat kan berlalu

Ada kan tiada bertemu akan berpisah

Awal kan berakhir

Terbit kan tenggelam

Pasang akan surut bertemu akan berpisah..." -Sampai Jumpa (Endank Soekamti)

Foto pribadi

    Suara gemuruh nyanyian lagu berjudul "Sampai Jumpa" milik Endank Soekamti itu bergema di seisi ruangan Gedung Dyandra Convention Centre. Tempat digelarnya Wisuda mahasiswa STIE Mahardhika pada tanggal 29 November 2020 yang lalu. Menggetarkan hati para wisudawan dan wisudawati yang tengah melaksanakan prosesi wisuda. Tak terkecuali aku. Seorang laki-laki berkacamata itu turut serta bernyanyi dalam alunan lagu sendu, yang tanpa terasa air matanya mengalir bak sumber mata air yang datang tiba-tiba.

    "Buk... Nanti kalau saya sudah Wisuda jenengan saya ajak ke acaranya nggeh Buk sama Bapak. Nanti setelah Wisuda terus kita foto-foto juga sama Mas Toto." Ucapku 2018 yang lalu saat liburan hari raya. 

    "Iya Lee.." Ucap Ibu sembari tersenyum. Ku lihat tersirat kebanggaan di senyum manisnya.

    Dari tiga bersaudara, akulah salah satu anaknya yang bisa sampai melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Masku yang pertama hanya melanjutkan pendidikan sampai SMP, dan setelah itu dia berjuang keras di tanah rantau. Melanjutkan hidup untuk menjadi contoh bagi adik-adiknya. Dan masku yang kedua bahkan hanya tamatan SD, sebelum pada akhirnya melanjutkan pendidikan agama di Pondok Pesantren selama 6 Tahun.

    Keberhasilan pendidikanku tak lepas dari jerih payah dan perjuangan Ibu. Apapun ia lakukan demi untuk mendukungku melanjutkan pendidikan. Bahkan Ibu sampai rela untuk merantau ke Surabaya untuk membiayai sekolahku. Mulai dari menjadi pegawai di Toko emas sampai jadi PRT-pun dia lakoni untuk menopang biaya pendidikan dan hidup kami.

    Ibu juga seorang yang taat beragama. Tak pernah kulihat dia meninggalkan sholat lima waktu ditengah kesibukannya. "Kalau Ibu sholat malam, Ibu selalu mendoakan untuk kesuksesanmu kelak Le..," Begitu katanya teduh, yang mungkin sudah tiga atau empat kali  aku mendengar ceritanya.

    Tatkala aku bisa kuliah dengan biaya sendiri, Ibu senangnya bukan main. Lebih tepatnya bangga. Dari cerita Bulek, aku tau Ibu selalu bercerita tentang anaknya ini diperantauan yang katanya sudah mandiri.

    Namun sayang, ketika hari kebahagiaan itu datang. Ibu sudah tak ada di sampingku untuk menemani Wisuda anak kebanggaannya. Tak ada lagi tangis bahagia dari Ibu, yang ada hanyalah tangis sendu dariku karena janji-janji kebahagiaan itu belum sempat aku tepati saat beliau masih hidup. 

    Ibu lebih dulu dipanggil oleh Tuhan. Mungkin kala itu Allah lebih sayang sama Ibu. Ketika Ibu harus berbaring di ranjang Rumah sakit selama satu hari satu malam karena sakit yang dideritanya. Ibu divonis dokter mengalami stroke berat. Tensi darahnya naik hingga 200 mmHg. Dari hasil diagnosis dokter, katanya pembuluh darah di otak Ibu pecah. 

    Ibu terbaring lemah dan tak sadarkan diri. Aku dan kakak-kakaku tak henti-hentinya melafalkan doa untuk kesembuhan Ibu. Malam kala itu makin larut, udara dingin masuk lewat celah-celah cendela, hingga menerobos ke hati kami. Ibu tak jua sadarkan diri. Hingga pada akhirnya Ibu menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 1 malam dini hari. Bertepatan dengan malam Jumat. Malam yang baik, begitupun dengan kematiannya. Semoga saja.

    "Innalilahi Wa Inna ilaihi Raji'un..." Hanya doa terbaik yang bisa kami lantunkan untuk menemani kepergiaannya. 

    Dan sekarang, janji anakmu sudah terbayarkan buk. Wisuda kali ini menjadi Kado Cinta special untukmu buk. Aku yakin, Ibu pasti senang. Ibu selalu mengawasi anaknya ditengah kesibukannya di Surga. Salam cinta dari kami buk. Tertanda, anakmu tersayang!

Surabaya, 19 Februari 2021 || Budi Setiawan


 


Kamis, 11 Februari 2021

DARI MENULIS BUKU TERBITLAH BUKU NIKAH

[ JJB ke #37 ] 


Sumber: Foto pribadi


Surabaya, 3 Februari 2021

20.30

“Mas, besuk kalau mau kasih mahar, buku aja ya mas. Jadi Mas nulis buku lagi,” ucap wanita yang malam itu di depanku. Wajahnya bercampur sinar lampu terang cafe hingga memantulkan cahaya indah di dua kornea matanya. Wulan, begitu orang-orang memanggilnya. Sesuai namanya, wajahnya kuning bersinar bak rembulan.

“Hah... Buku?” Sahutku kaget.

“Iya, mas. Tapi nggak maksa lho. Kan mahar katanya nggak boleh memberatkan.” Jawabnya pelan.

Kemudian senyum penuh teduh padanya kuantarkan. Wanita ini tau saja kalau kekasihnya sudah lama tidak menulis buku. Memang rencanaku dulu sebelum menerbitkan buku nikah, setidaknya satu atau dua buku bisa aku tulis lagi.

“Iya dek. Mas jawab sehabis lamaran ya permintaan adek.” Ujarku menjanjikan jawaban.

Perasaanku kala itu campur aduk. Dari permintaan maharnya aku membayangkan bahwa dia bukan hanya wanita cantik yang dikirimkan Tuhan untuk menjadi pendamping hidupku. Namun juga insyaAllah wanita shalihah yang ditakdirkan untuk mendukung proses berkaryaku sebagai penulis. Menjadi laksana obor penyemangat di kala malam hitam kelam menyulitkanku menyusuri jalan sunyi kepenulisan.

Memang menulis belum menjadi profesiku seutuhnya. Lebih tepatnya hanya sekedar hobi yang aku tekuni saja. Namun, aku teringat kata-kata yang pernah dilontarkan oleh Kang Ridwan Emil, “pekerjaan yang paling menyenangkan itu adalah hobi yang dibayar.” Begitu katanya. Aku sepakat dengan Kang Ridwan. Tapi sejak awal uang bukanlah motif utama kenapa aku mesti menulis. Itu hanya bonus. Selebihnya aku menyetujui kata Pramodeya, bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Pun aku teringat dengan kata mentor menulisku dulu, Mas Brili. Menulis juga bisa menjadi ladang amal kita berupa ilmu yang bermanfaat. Yang pahalanya tidak akan terputus meskipun kita sudah meninggal kelak. Syahdan, lewat dialog singkat dengan calon makmumku malam itu, seakan alampun mendukungku untuk tetap semangat dalam berkarya lewat tulisan.


Minggu, 7 Februari 2021

Aku memandang keluar jendela mobil. Matahari diantara akhir musim penghujan itu masih menumpahkan sisa sinarnya diantara kabut awan-awan hitam. Kulihat jam di pergelangan tangan kiriku sudah menunjukkan pukul 09.10. Mobil toyota rust warna putih itu menghantarkanku dan keluargaku ke suatu desa di kota Jombang. Meminang seorang gadis yang baru tiga bulanan dekat dengannya. Di tengah hari istimewa itu ada tiga hal yang menjadi beban pikiranku.

Pertama, aku dan keluargaku sedang berbahagia di hari istimewa itu, namun tanpa kehadiran Almarhum Ibuku. Kedua, ini adalah kali pertama aku berani melamar anak orang. Aku hanya menerka-nerka bagaimana jalannya acara nanti. Lalu yang terakhir, Apa yang akan kuhadapi setelah selesai acara tunangan ini, bagaimana jawaban dari permintaan akan maharnya kemaren? Sepanjang perjalanan, aku hanya memperlihatkan muka yang senang dan gembira, tanpa memberi tahu sedikitpun apa yang menjadi pertanyaan yang menjadi kegelisahan dalam hatiku.

Dua hari seusai acara pertanyaan itu muncul kembali di benakku. Cepat atau lambat aku harus segera mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu untuk kemudian aku forward jawaban itu ke tunanganku. Apakah aku harus mengiyakan atau justru menolak permintaan itu dengan beberapa alasan. Ya, begitulah kehidupan. Terkadang kita disuguhkan dengan teka-teki yang wajib kita selesaikan.

Mahar (mas kawin) adalah salah satu syarat sahnya pernikahan. Dalam Islam sendiri, mahar adalah untuk sempurnanya nikah. Di Al-Qur’an, Allah telah menjelaskannya dalam surat An-Nisa ayat 4 berbunyi:

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Demikian Firman-Nya. Begitupun dengan sebuah hadist beliau Nabi juga menyebutkan:

“Wanita yang paling besar berkahnya ialah wanita yang paling mudah (murah) maharnya.” (HR.Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baihaqi)

Hadis ini sangat sejalan dengan kata tunanganku beberapa waktu lalu. Setelah menimbang dan menimbang lalu memutuskan, InsyaAllah akupun siap untuk menjawab permintaan tunanganku. Akan ku usahakan, lalu menyerahkan segala usaha itu pada Allah. Sebab, tiada daya dan upaya melainkan daya dan upaya dari Allah semata.

“Bismillah tawwakaltu ‘alallah. La haula wala quwwata illa billah,” ucapku kemudian. Dari menulis buku, terbitlah buku nikah. Semoga saja.


Surabaya, 11 Februari 2021 || Budi Setiawan