Senin, 27 April 2020

LAHIRNYA VENTILATOR KARYA ANAK BANGSA


[JJB ke #33, Series:#LiterasiLawanPandemi]

“Nilai akhir dari proses pendidikan, sejatinya terekapitulasi dari keberhasilannya menciptakan perubahan pada dirinya dan lingkungannya. Itulah fungsi daripada pendidikan yang sesungguhnya.”

-Lenang Manggala (Founder Gerakan Menulis Buku Indonesia)

Benar adanya, apabila disebutkan bahwa fungsi dari pendidikan yang sesungguhnya adalah menciptakan perubahan pada diri dan lingkungannya seperti yang diungkapkan oleh mas Lenang Manggala di atas. “Agent of change” begitu kawan-kawan mahasiswa menyebutnya. Sejalan dengan hal tersebut, YPM Salman bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Padjadjaran (UNPAD) berusaha mewujudkannya dengan aksi nyata berkarya. Terbukti pada tanggal 21 April 2020 kemaren, Ventilator portabel CPAP, Vent-I yang merupakan hasil produk kerjasama telah lolos uji produk oleh Balai Pengamanan Fasillitas Kesehatan (BPFK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Sumber Foto: Grid.id

Seperti yang telah dilangsir dilaman resminya ITB, Ventilator ini dinisiasi pengembangannya oleh Dr.Syarif Hidayat, Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) dari Kelompok Keahlian Ketenagalistrikan ITB, didukung oleh beberapa Dosen dan mahasiswa Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantra (FTMD) dan Desain Produk, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD). Vent-I adalah alat bantu pernapasan bagi pasien yang masih dapat bernafas sendiri (jika pasien COVID-19 pada gejala klinis tahap 2), bukan diperuntukkan bagi pasien ICU. Katanya ventilator tersebut diklaim  dapat digunakan dengan mudah oleh tenaga medis.

Dengan kian banyaknya kebutuhan Ventilator untuk pasien COVID-19 di Indonesia, Vent-I ini diharapkan mampu untuk membantu mencukupi kebutuhan tersebut. Vent-I ini akan diproduksi untuk kebutuhan sosial, artinya Vent-I akan dibagikan secara gratis kepada rumah sakit yang membutuhkan. Menurut Ir.Hari Thahjono, MBA., Selaku tim Komunikasi Publik dari pengembangan Vent-I dalam rilisnya mengatakan, “Vent-I ini akan diproduksi sekitar 300-500 sesuai dengan jumlah donasi yang masuk ke Rumah Amal Salman. Produksi tahap pertama dimulai begitu lolos uji pada tanggal 21 kemaren, dan akan diproduksi melalui kerjasama dengan PT DI,” ujarnya.

Kendati di satu sisi, menurut kabar yang beredar di media, Indonesia akan mendapatkan bantuan ventilator dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Tapi di sisi lain kita tidak bisa sepenuhnya menggantungkan harapan kepada negara lain. Dengan aksi nyata yang dilakukan oleh tim pengembang Vent-I di atas setidaknya akan bisa memicu dan menginspiasi para pemuda Indonesia lain agar lebih semangat dalam berkarya. Mereka dengan karyanya seakan ingin meneriakkan kepada bangsa ini dan dunia, bahwa Indonesia itu “mampu”.

Dalam wawancaranya bersama VOA (Voice Of America), Dr.Syarif Hidayat dengan semangatnya berkata, “saya memilih mati dalam keadaan berdiri, daripada mati dalam keadaan memeluk lutut”.  Artinya kurang lebih yang ingin beliau sampaikan adalah jangan sampai kita hanya pasrah dengan keadaan dan sebatas berpangku tangan menunggu keajaiban. Tapi ciptakanlah keajabaiban itu. Dengan cara apa? Dengan cara berusaha menjadi yang terbaik bagi sesama. Sebab, seperti pesan Rasulullah “Sebaik-baik manusia adalah paling yang bermanfaat bagi sesama”.

Menjadi pribadi yang bermanfaat bisa diibaratkan seperti menanam kebaikan untuk diri sendiri. Selayaknya orang yang menanam, suatu saat kita juga akan memanennya. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Isra ayat 7:

“Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri.”

Seperti yang telah kita ketahui bersama, tim medis sudah menjadi garda terdepan dalam menangani pasien covid-19. Pak Syarif dengan tim kerjasamanya sudah menciptakan ventilator karya anak bangsa. Lalu, bagaimana dengan kita? Siapkah kita menjadi barisan pahlawan covid-19 selanjutnya? Semoga saja cita-cita luhur itu tidak hanya sebatas bertengger di angan.

Sidoarjo, 27 April 2020 || Budi Setiawan

Kamis, 23 April 2020

ANTALOGI WFH (Writer From Home)

[ JJB ke #32 Series: #LiterasiLawanPandemi ]

Ditengah kemelut pandemi Covid-19, bukan sesuatu yang tabu jika kita mempertanyakan kapan berakhirnya pandemi korona ini. Phisycal Distancing memaksa kita untuk tidak melakukan aktvitas kita sewajarnya sebagai makhluk sosial. Pelarangan berkumpul dengan orang banyak, berjabat tangan bahkan sampai aktivitas ibadah di Masjid dan Gerejapun dihentikan di daerah zona merah yang terkena virus. WFH (Work From Home) menjadi salah satu himbauan pemerintah kepada kita untuk melakukan kerja dan belajar mengajar dari rumah.

Gambar: Poster Antalogi Cerita Inspiratif #diRumahAja

Menjadi hal yang wajar jika kebijakan ini juga berdampak pada psikologi sebagaian orang, merasa bosan salah satunya. Berawal dari melihat realitas yang ada tersebut, serta kurang adanya kegiatan produktif yang dilakukan mahasiswa dalam menghadapi pandemi ini. Dea dan Jahe, dua mahasiswa yang menjadi Aktivis Peneleh ini punya inisiatif untuk membuat project menulis buku antalogi bersama. Projek ini bertajuk, “Cerita Inspiratif #diRumahAja”.

Mereka bekerja sama dengan Penerbit Peneleh sebagai media untuk menerbitkan antalogi itu. Mereka mengambil tema “Cerita Inspiratif #diRumahAja” lantaran ingin membagikan cerita-serita inspiratif saat berada dirumah dari masing-masing kontibutor kepada pembaca. “Dari tema tersebut sudah jelas akan berisi cerita tentang apa saja yang penulis alami ketika menghadapi pandemi ini. Yang juga akan menjadi rekam sejarah di tahun yang akan datang”, terangnya saat saya mintai keterangan tentang projek tersebut. Hal itu tampaknya juga memantik antusias saya untuk terlibat di dalamnya. Saya pikir ini adalah kesempatan bagus, mumpung ada teman-teman yang bisa saling menyemangati dalam berkarya. Hehe.  

WFH memang bukan hanya bicara soal bagaimana semestinya kita bekerja dari rumah. Tapi juga bagaimana kita mengisi hari-hari kita untuk lebih bermanfaat. Menekuni hobi seperti misalnya menulis juga bisa menjadi jawabannya. Sebab, menulis selain untuk mengungkapkan keresahan hati kita juga bisa sebagai obat untuk meredam kepanikan diri (Self Healing). Menulis juga bisa memberikan sumbangsih ilmu dan wawasan kita kepada dunia terkait hal-hal yang mestinya diketahui. Apalagi jika tulisan itu dinilai bisa memberikan sesuatu yang bisa menginspirasi pembaca, maka itu akan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi penulisnya.

Maka disaat kondisi memaksakan kita untuk bekerja dan belajar dari rumah, WFH bukan lagi diartikan sebagai Work From Home tapi bisa bisa jadi diartikan Writer From Home bagi penulis buku antalogi seperti di atas misalnya. Antalogi adalah kumpulan karya tulis pilihan seseorang atau beberapa pengarang. Antalogi dalam hal ini bisa berupa puisi, cerpen, essay, ataupun artikel dalam bentuk lain. Dan lebih enaknya, menulis buku antalogi bisa lebih menghemat energi kita untuk menulis sebuah buku. Ya, bagaimana tidak hemat. Wong menulis satu buku saja penulisnya bisa mencapai puluhan orang. He.

Inisiasi projek antalogi ini menurutku sangat baik. Menulis bersama sembari diberi deadline pengumpulan seperti ini cukup membantu orang-orang yang punya masalah dalam hal semangat menulisnya yang dirasa kurang namun punya keinginan untuk tetap produktif menghasilkan sebuah karya. Jika tidak demikian kapan kita akan produktif sementara itu semua hanya bertengger diangan, musabab ndak pernah ada yang memberi deadline misalnya. Karena bagi pemula seperti kita, menulis harus ada punya komunitas untuk memberikan suntikan semangat jika semangat kita mulai down. Lebih-lebih sangat disarankan untuk memiliki seorang mentor. Karena seorang mentorlah nantinya yang akan membimbing, mengarahkan dan memberikan umpan balik dari setiap karya yang kita buat.

Sebetulnya, selain itu menulis antalogi juga bisa dijakan portofolio dan self branding bagi diri kita agar lebih dikenal orang lain. Tapi benefit ini bagi saya hanyalah sebuah bonus. Sebab, tujuan pertam kita menulis adalah agar sebuah gagasan yang kita tuliskan bisa memberikan kebermanfaatan bagi sesama lebih-lebih bisa berdampak positif bagi pembaca, syukur Alhamdulillah. Konon, apa yang ditulis dari hati insyaAllah juga akan sampai di hati pembaca. #SalamLiterasi

“Menulis bukan hanya menerangkai kata-kata indah namun menyampaikan gagasan. Bila kamu melakukannya dengan sepenuh hati maka yang tersentuh bukan Cuma pikiran pembaca tetapi juga hati mereka.”

-Rusdi Mathari


Sidoarjo, 23 April 2020 || Budi Setiawan

Jumat, 17 April 2020

PADASAN, RIWAYATMU KINI



[ JJB ke #31 Series; #LiterasiLawanPandemi ]

Peradaban ummat manusia abad 21 ini adalah peradaban ilmiah dan teknologi yang canggih. Dalam sejarah panjangnya, menurut Yuval Noah Harari, manusia menjadi mahkluk berperadapan melalui tiga revolusi: Kognitif, Pertanian, dan Sains. Namun, tak serta merta, kearifan lokal yang telah diajarkan para leluhur, kita lupakan atau bahkan kita musnahkan begitu saja. Jika memang demikian, sungguh kita tak meng-indah-kan kata-kata Bung Karno yakni JASMERAH (Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah).

Gambar: Padasan dari bahan plastik bekas cat tembok (foto pribadi)

“Wong jowo ora njawani” (orang jawa tapi tidak menjiwai). Pepatah jawa ini nampaknya cocok disematkan kepada orang-orang seperti saya khususnya atau siapa saja yang merasa umumnya. Yang memang secara perlahan mulai meninggalkan kearifan lokal dan budaya sendiri. Betapa tidak, hal-hal yang selama ini kita anggap kuno dan ndak ilmiah itu ternyata mulai dibutuhkan kembali disaat-saat pandemi seperti ini. Membuat “padasan” salah satunya.

Tulisan ini bermula dari kisah saya rabu pagi (15/04) kemaren saat selesai menyapu rumah lalu kemudian mengisi padasan di depan rumah dengan air. Padasan itu baru dibuat oleh kakak saya beberapa hari yang lalu dengan bahan bekas wadah cat dengan diberi kran di bawahnya. Dalam benak saya lantas timbul pertanyaan, “kenapa baru sekarang orang-orang mulai rajin mencuci tangan, kenapa baru sekarang orang buat padasan, setelah semua tersadarkan bahwa menjaga kebersihan itu sangat penting digiatkan saat musim pandemi ini?”

F.Y.I (bagi yang belum tahu), Padasan adalah tempat air dalam wadah berupa gentong atau tempayan yang umumnya terbuat dari tanah liat. Biasanya padasan ditempatkan di depan rumah. Sementara menurut KBBI, padasan adalah tempayan yang diberi lubang pancuran (tempat air wudlu).

Jauh sebelum WHO (World Health Organization) dan Menkes (Menteri Kesehatan) memberi himbauan untuk rajin mencuci tangan. Masyarakat jawa sudah terbiasa untuk mencuci tangan dan kaki sehabis kerja (yang mayoritas zaman dulu bertani, beternak, berkebun dan berdagang) dengan padasan. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah SAWAN (Sejenis Virus atau penyakit) terbawa ke rumah dan menularkan ke keluarga yang ada di rumah.

Gambar: Padasan zaman dahulu dari gentong (sumber gambar: ayojalanterus.com)

Jadi, salah besar apabila kita anggap orangtua kita terdahulu adalah orang kuno dan ndak ilmiah itu. Sebab, orang Jawa terdahulu selalu menggunakan ilmu atau ngilmu “titen” disetiap laku kehidupannya. “Titen” artinya cermat dalam menandai dan membaca makna dibalik peristiwa alam. Ngelmu titen adalah keahlian dalam melihat hubungan suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya dengan berbasis tradisi.

Menurut Dewi Sundari, seorang Praktisi Kejawen mengatakan bahwa dalam ngilmu titen, segala sesuatu yang terjadi dapat diamati. Karena tidak ada yang namanya kebetulan dalam hidup ini. “Kebiasaan mengamati, yang kita sebut sebagai othak-athik gathuk ini, sebenarnya juga diterapkan oleh ilmuwan dunia. Padahal yang diajarkan leluhur kita, sesungguhnya adalah metode pembelajaran yang dapat diterima secara ilmiah juga”. Kalau dalam konteks kekinian ngilmu titen itu kurang lebih sama halnya dengan penelitian lah. Hanya saja ngilmu titen berbasis tradisi dalam dalam tataran praktisnya.

Dulu waktu masih tinggal di desa, ketika pulang dari melayat atau dari kuburan saya sama Almarhumah ibu selalu diminta mandi dulu sebelum masuk rumah. Karena kata beliau jika tidak, nanti bisa membawa SAWAN dan menularkan ke orang rumah. Akibatnya orang yang di rumah bisa saja sakit jika kita ngeyel. Karena hal itu memang sudah di-titeni oleh orang tua kita sejak zaman dahulu. Dan ternyata menurut dokterpun sama, bahwa orang yang meninggal bisa menularkan penyakitnya. Makanya kenapa seperti yang kita ketahui bersama, pasien COVID-19 yang sudah meninggal dilakukan penanganan khusus dari petugas Rumah sakit. Mulai dari memandikan sampai menguburkannya harus dari pihak rumah sakit.

Berkaca pada narasi yang telah saya jabarkan di atas. Maka sudah sepatutnya kita lebih menghargai akan warisan leluhur kita. Sepertinya misalnya padasan, tidak mungkin itu dibuat tanpa ada guna dan manfaatnya. Tak mungkin ada bangunan yang kokoh andai pondasinya tidak dipasang dengan tepat dan benar.

Nilai-Nilai Luhur di balik Padasan

Masyarakat Jawa di pedesaan pada zaman dahulu hampir semuanya menyediakan padasan di depan rumahnya. Biasanya di dekat jalan. Padasan pada waktu itu lebih banyak menggunakan gentong atau tempayan. Selain itu terkadang pemilik rumah melengkapinya dengan gayung dari batok kelapa atau dalam bahasa jawa biasa disebut siwur. Sekarang orang-orang bisa membuat padasan dengan barang-barang yang mudah ditemukan seperti jerigen dan bekas cat rumah saja.

Pada umumnya, padasan diletakkan di depan jalan supaya siapapun yang lewat dan membutuhkan air bisa mengambilnya sesuai dengan keperluan. Banyak nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi menyediakan padasan. Diantaranya sebagai berikut:

Pertama, keikhlasan dan kerelaan berbagi. Dengan berbekal ke-ikhlasan pemilik padasan  rutin mengisi airnya jika sudah habis, supaya siapapun yang membutuhkan bisa memanfaatkannya. Dan tanpa peduli bahwa orang yang mengambil itu sudah dikenal pemilik atau belum.

Kedua, berlatih untuk mawas diri. Orang yang memanfaatkan padasan, baik kenal ataupun tidak dengan pemiliknya. Juga diharapkan cukup tahu diri untuk tidak berlebihan dalam memanfaatkan air tersebut. Mereka harus sadar bahwa masih banyak orang lain yang membutuhkannya. Walaupun memang tidak ada aturan tegas yang melarang atau membatasi penggunaan air.

Ketiga, agar tidak menjadi air musta’mal saat digunakan berwudlu. Air musta’amal adalah air yang telah digunakan bersuci (wudlu/mandi) ataupun menghilangkan najis. Air musta’mal tidak bisa digunakan bersuci manakala kurang dari dua qullah (bak air ukuran: 60 cm3 = 216.000 cm atau 216 liter). Jadi sederhananya, apabila air yang kurang dari dua qullah tersebut digunakan untuk mandi misalnya terus setelah itu sisanya juga digunakan untuk wudlu maka wudlunya tidak sah. Sebab, dikhawatirkan air yang telah kita gunakan tercipratkan ke wadahnya lagi walaupun tidak sengaja. Maka, untuk mengantisipasinya orang zaman dulu menggunakan padasan sebagai sarana berwudlu supaya airnya tetap sah digunakan dalam bersuci.

Narasi tentang padasan ini adalah manifestasi dari sekian banyaknya kearifan lokal yang ada di negeri kita. Sebagai generasi penerus bangsa, seharusnya kita lebih memperhatikan lagi akan budaya dan kearifan lokal para leluhur kita. Kendati kita sudah memasuki periode peradaban ilmiah dan teknologis, namun jangan sampai budaya kita luntur dan tergerus oleh ombak budaya dari luar. Kita punya jati diri bangsa yang patut kita banggakan. Jangan sampai terdengar ada kata “klaim budaya” oleh negara lain lagi di media.

Sidoarjo, 17 April 2020 || Budi Setiawan

Jumat, 10 April 2020

Upaya Radikal Brili Agung Bantu Tim Medis

[ JJB ke #30 Series; #LiterasiLawanPandemi ]

HAMPIR satu bulan kebijakan “Physical distancing” dijalankan untuk memutus rantai persebaran Covid-19. Bak Thanos dalam film Avengers: Infinity War, Si monster raksasa yang akan menyapu setengah alam, pandemi Covid-19 pun keras menghantam banyak lini. Tak hanya menyerang sisi kesehatan, namun juga menyerang sisi ekonomi. Banyak pelaku usaha yang mulai mengambil kebijakan untuk merumahkan karyawannya, tak sedikit pula yang sampai di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Kondisi yang memaksakan demikian, tak bisa disalahkan memang.

Bagi sebagian pengusaha cara menyikapinya berbeda. Ada yang memilih bertahan dengan cara berinovasi dan bertranformasi di bidang usahanya. Adapula yang memanfaatkan momentum ini untuk beramal sosial sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responbility (CSR). Salah satu diantaranya adalah Brilli Agung, seorang pemilik hotel Aksara Homestay Purwokerto dan Penulis Buku ini menghibahkan 24 kamar hotelnya untuk tenaga medis Covid-19 di Kabupaten Banyumas.

Upaya radikal yang dilakukan mas Brilli ini ditengarai karena merasa prihatin dengan perlakuan miris masyarakat terhadap tenaga medis.  Terutama pemilik kos yang tidak menerima tenaga medis yang bekerja di rumah sakit rujukan Corona Covid-19. Perlakuan yang tak semestinya didapatkan kepada pahlawan kesehatan dewasa ini. Sehingga beliau tergerak hatinya untuk turut serta membantu tim medis sebagai garda terdepan dalam penanganan korban pandemi ini. Aksinya ini pun sempat viral di Twitter @BriliAgung, jumat (27/3/2020) yang sampai saat ini unggahannya telah mendapat 25,4 rb retweet dan 51,4 rb suka. Berikut unggahan dalam akun twitternya:

Gambar: Akun twitter Brilli Agung

Saya mengetahui kisah ini berawal dari update story-nya di Whatshapps. Kebetulan mas Brilli ini adalah salah satu mentor saya menulis 2017 silam. Lewat ikut pelatihan dan mentoring beliaulah Buku perdana saya yang berjudul, “Tuhan, Inilah Proyek Cintaku” alhamdullillah lahir. Setelah mendapat kabar tersebut saya langsung memutuskan untuk mencari tahu detailnya kisah lengkapnya lewat media massa online dan akun twiterrnya. Jiwa skeptis saya ketika menjadi aktivis pers mahasiswa dulu di kampus, membuat saya langsung gercep (gerak cepat) untuk searching cek fakta lebih lanjut ketika mendapat kabar yang menurut saya bagus.

Menurut kabar yang dilansir di liputan6.com, mas Brilli tak hanya menghibahkan 24 kamar hotelnya. Namun juga menanggung biaya operasional, baik sarapan dan kebutuhan seperti hand sanitizer. Di samping itu dia juga tetap akan memenuhi tanggung jawabnya kepada karyawannya yang bekerja yakni berupa gaji dan THR akan tetap diberikan. Senada dengan yang diucapkan saat wawancaranya dengan CNN TV, “Saya sudah berkomitmen untuk menanggung biaya operasional, kebetulan kami juga dibantu oleh beberapa relawan. Dan saya juga berkomitmen untuk menunaikan hak karyawan berupa full gaji dan juga THR yang akan datang sebentar lagi”.

Sekarang saatnya masyarakat di sejumlah negara saling menguatkan, saling membantu dan saling memberi harapan satu sama lain agar virus yang melanda bumi ini segera bisa dilewati. Seperti apa yang sudah dilakukan oleh mas Brilli Agung di atas. Harapannya hal-hal kebaikan semacam itu bisa menjadi inspirasi bagi para pengusaha lain untuk berbuat sama bahkan bisa jadi lebih kalau memang mampu. Seperti pesan Allah dalam Al-Quran, Wa ta’awwanu ‘alalbirri wattaqwa, “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa”.

Sidoarjo, 10 April 2020 || Budi Setiawan



Senin, 06 April 2020

IKUTI WEBINAR: Upaya Produktif di Masa Pandemik


[ JJB ke #29 Series: #LiterasiLawanPandemi ]

Sumber: Foto pribadi
Work From Home (WFH) adalah salah satu himbauan pemerintah dalam rangka memutus rantai penyebaran virus Covid-19. Tak hanya para pekerja saja yang dihimbau untuk bekerja dari rumah, pelajar dan mahasiswapun juga dianjurkan untuk belajar dari rumah. Begitu pula dengan umat bergama juga dihimbau untuk beribadah di rumah. Upaya ini dilakukan guna untuk mendukung kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Hastag #diRumahAja pun menjadi viral di dunia maya.

Kondisi ini bisa jadi menyenangkan untuk sebagian orang, tapi bisa juga menjadi momok bagi orang lain. Ini adalah sebuah pola kerja yang relatif baru dan akan menjadi tantangan tersendiri bagi sebagian orang. Di tengah ketidakpastian kondisi di luar rumah, saat kita stay #diRumahAja diharapkan agar kita tetap produktif. Banyak cara dan banyak jalan untuk menjadi lebih produktif, salah satunya adalah mengikuti Webinar. Apa itu Webinar? F.Y.I Webinar berasal dari dua kata, yaitu Web dan Seminar. Jadi Webinar adalah suatu seminar, presentasi, pengajaran dan workshop yang dilakukan secara online.

Weekend day kemaren, Minggu (5/4), Mata Garuda LPDP bekerjasama dengan PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Dunia menggelar seminar online di aplikasi Zoom. Acara tersebut bertajuk, “Solusi Ekonomi yang Efektif untuk Penanganan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.” Mata Garuda merupakan wadah bagi keluarga besar alumni dan wardee beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) RI.

Gambar: Poster acara

Seminar online ini diikuti oleh kurang lebih 500 peserta (mahasiswa dan umum) yang tersebar dari berbagai penjuru negeri. Webinar tersebut menghadirkan narasumber dari beberapa tokoh nasional seperti: Sandiaga Uno (Pengusaha Indonesia), Prof.dr.Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH (Ketua Perkumpulan Ahli Ekonomi Kesehatan Indonesia), Prof.Dr.Didik J.Rachbinni (Ekonom dan Pendiri INDEF), Hidayat Amir,Phd (Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM) Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI dan Putri Viona Sari,Sgz.,MSc (Awardee LPDP, Global Health Policy, Researcher, University of Edinburgh, Inggris). Serta di moderatori oleh Arip Muttaqien, PhD (Alumni LPDP, PhD in Economics Maastricht University, Belanda).

Dalam pembukaannya, moderator, mas Arip Muttaqien memaparkan kondisi pemerintah yang telah menetapkan stastus Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID 19 dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Selain itu, realokasi anggaran harus dilakukan untuk menghadapi dampaknegatif COVID-19 terhadap perekonomian. “Bagaimana dampak dari kebijakan tersebut terhadap penanganan COVID 19 di Indonesia? Dan apa saja respon masyarakat terhadap situasi ini?,” Begitu pengantar pertanyaannya yang kemudian mempersilahkan satu persatu narasumber untuk memaparkan materinya.

Berikut Pemaparan dari Beberapa Pemateri Webinar:

Beberapa poin yang saya tangkap adalah pertama dari Prof.Didik. Beliau menyampaikan bahwa solusi ekonomi yang mendasar dalam hal ini adalah solusi kesehatan. Ekonomi tidak bisa apa-apa selain adanya kesehatan. Begitupun dengan mbak Viona, beliau mengatakan, “dalam mengambil solusi ekonomi, pemerintah harus memastika solusi tersebut ditangkap oleh masyarakat sebagai in the best interest of the people.” Artinya, harus berdasar demi kepentingan terbaik rakyat.

Lain halnya dengan bang Sandiga Uno yang lebih banyak berbicara tentang UMKM selaku sektor yang paling terdampak dan terhamtam oleh Covid 19 ini beserta kebijakan yang telah dilakukan pemerintah yang direalisaikan khususnya dari segi bantuan tunainya melalui Program Keluarga Harapan dan Kartu Pra Kerja. Menurutnya, dengan adanya COVID-19 ini seakan lebih mempercepat adanya era Industri 4.0, seperti meningkatnya perilaku belanja masyarakat di E-commerce.

Gambar: Sandiga Uno sedang memberikan materi di Webinar Mata Garuda LPDP


Sedangkan Prof.Thabrany dalam kesimpulannya menyampaikan bahwa eksternalitas covid 19 terhadap ekonomi sangat besar, terlalu dini untuk menghitung untuk menghitung dampak final saat ini. “Hikmah di balik pandemi ini adalah kini kita sadar: sistem kesehatan lemah, dana tabungan (jaminan sosial) terlalu kecil, dan sistem ekonomi kita lemah. Saatnya melihat peluang seperti inovasi merancang dan mengembangkan bisnis bidang kesehatan, e-commerce, daring, digital, riset obat, vaksin, dan penguatan sistem kesehatan dan sistem ekonomi.

Terakhir dari pak Hidayat Amir, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro dan Kebijakan Fiskal Kemeterian Keuangan tersebut lebi banyak menerangkan tentang kebijakan ekonomi dalam rangka penanganan covid-19 yang dilakukan pemerintah. Seperti misalnya menerangkan tentang PERPPU No.1/Tahun 2020 yang di dalamnya termasuk untuk mengakomodasi tambahan belanja dan pembiayaan pemerintah sebasar Rp 405,1 triliun. Diantaranya mencangkup:

1). Intervensi penanggulangan covid-19 (Rp 75 T)
2). Perluasan Social Safety Net (Rp 110 T)
3). Dukungan dunia usaha (Rp 70,1 T)
4). Pembiayaan dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional (Rp 150 T)

Belajar dari Webinar ini, saya jadi sadar bahwa ternyata masih banyak hal yang belum saya ketahui yang pada akhirnya menjadi sedikit terang. Saya sendiri sangat mengapresiasi panitia penyelenggara (Mata Garuda LPDP dan PPI Sedunia) yang telah menyelenggarakan webinar sekeren ini. Pada dasarnya, kesadaran karena ketidaktahuan lah yang mendorong kita untuk terus belajar dan berkembang. Hadirnya Covid-19 bukanlah suatu alasan untuk kita menghabiskan waktu #diRumahAja dengan bermalas-malasan apalagi hanya sekedar stalking ig mantan dan gebetan. Hikks!! Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk meng-up grade diri agar lebih produktif, ikut Webinar salah satunya.

“Maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain.” (QS.Al-Insyirah ayat 7)

Sidoarjo, 6 April 2020 || Budi Setiawan

Kamis, 02 April 2020

APA YANG BISA DIPOST?


[ JJB Ke #28 Series #LiterasiLawanPandemi]

Sumber foto: Pribadi


Pertanyaan ini saya rasa banyak menghantui kaum milenial yang saat ini sedang khusuk-khusuknya mengikuti anjuran pemerintah untuk #dirumahaja . Milenial yang sebelum adanya serangan pandemi Covid-19 adalah kaum yang "dikit-dikit cekrek upload" tak lupa dengan hastag #ootd nya agar lebih afdhol. 😁

Sayang seribu sayang kegiatan yang sudah mendarah daging itu pada akhirnya dihentikan secara paksa oleh monster bernama "korona". Pada akhirnya, postingan-postingan yang saya jumpai di Ig story atau wa story teman-teman belakangan ini lebih banyak menampilkan tentang betapa kejamnya virus korona tersebut menyerang manusia. Tentang berita-berita daerah zona merah yang kian meluas, upaya-upaya kebijakan pemerintah untuk pencegahan dan info-info lain seputar virus tersebut. Sesekali ada beberapa juga yang jualan APD (Alat pelindung diri) berupa masker, hand sanitizer dan lain-lain.

Jenuh nggak sih? Saya yakin sebagian dari kita merasa jenuh akan hal itu. Kapan ini semua akan berakhir? Jawabannya tidak ada yang tahu persis. Yang jelas hal tersebut tidak boleh kita remehkan, namun juga jangan terlalu panik. Hingga pada akhirnya atas dasar kepanikan tersebut kita ngelakuin hal-hal yang konyol semacam #panicbuying , membeli barang-barang untuk pencegahan korona secara berlebihan untuk kemudian menimbunnya. Tanpa melihat bahwa di samping kanan kiri kita juga membutuhkannya. Berapa banyak dokter dan tenaga medis yang menjadi garda terdepan penanganan virus ini menjadi korban karena kurangnya APD? Plis kawan, mereka adalah PAHLAWAN kita saat ini.

Berawal dari kejenuhan itu, saya tergerak untuk membuat semacam gerakan bersama untuk lebih produktif dan bermaanfaat bagi sekeliling kita. Gerakan tersebut bisa kita mulai dengan hal-hal kecil namun bisa ber-impact secara luas. Semisal menulis. Kenapa menulis? Karena dengan menulis kita bisa memberikan sedikit wawasan kita kepada dunia. Meng-edukasi pembaca dengan hal-hal yang sekiranya bermaanfaat itu saya rasa juga sebuah upaya dalam rangka mencerdaskan bangsa ini. Kalau bicara 'bangsa' dirasa terlalu berlebih-lebihan ya mungkin buat teman-teman sekitar kita saja dulu. Hehe..

Tidak perlu tulisan yang panjang x lebar x tinggi. Cukup buat postingan di instagram atau facebook dengan memberi caption satu paragraf atau dua paragraf dari masing-masing sisa foto hasil jepretan sebelum masa #physicaldistancing ini dengan dibumbui narasi yang sedikit menggugah untuk dibaca saya rasa itu sudah layak di-publish. 😊. 

"Satu peluru bisa menembus satu kepala, satu kata bisa menembus jutaan kepala" - Sayyid Quthb

Sidoarjo, 2 April 2020 || Budi Setiawan

Rabu, 01 April 2020

2024: DARI NUSANTARA UNTUK PERADABAN DUNIA

[ Resensi Buku #4 ]

Sumber Foto: Pribadi



Judul Buku     : 2024 HIJRAH UNTUK NEGERI
Penulis            : Aji Dedi Mulawarman
Penerbit           : Yayasan Rumah Peneleh
Tahun Terbit    : 2016
Tebal Halaman: 316 Hlm
Resentator       : Budi Setiawan

Sinopsis Buku :

Berbicara masalah peradaban merupakan kemewahan bagi masyarakat negeri ini, karena tema seperti ini memang tak bisa dijadikan “pasar” seperti halnya berbicara masalah-masalah di luar topik itu. Membincang peradaban juga tak hanya sekedar menelusuri sejarah tokoh dan peristiwa-peristiwa penting pada pusat-pusat kekuasaan Yunani, Romawi, China, India, Amerika Serikat, Amerika Selatan, Jepang, Majapahit, Perlak, Malaka, Demak, Mataram Baru, Ternate dan Tidore, serta pusat-pusat kejayaan lainnya saja. Membincang peradaban juga bukan hanya masalah “makan” dan “kuasa”, ekonomi dan politik saja, dan dengan itu pula maka peradaban bisa hancur, luluh lantak tak berkeping, hilang dari sejarah masa kini dan masa depan seperti halnya peradaban suku Maya, Aztek, Roma dan lain-lain.

Jika standart kemakmuran suatu negara hanya dinilai berdasarkan penerapan model institusi inklusif ekonomi dan politik seperti yang dikemukakan oleh Acemoglu dan Robinson lalu bagaimana dengan degradasi moral dan tingginya angka kejahatan yang justru itu ada di negara yang katanya makmur? Memang taraf hidup di Barat meningkat kemakmurannya, tidak di Timur, luar biasanya perkembangan sains teknologi, jaminan pendidikan meningkat drastis. Fukuyama mengatakan sebagai simbol kemenangan Liberalisme dan Demokrasi liberal, Barat adalah pemegang sah status sosial manusia terakhir di muka Bumi. Tetapi, kemakmuran, sekali lagi juga dibarengi dengan kehancuran moralitas seperti bencana kebebasan LGBT- Lesbong hombreng, meningkatnya kejahatan, aborsi, masifikasi penggunaan narkotika, serta kejahatan-kejahatan lainnya yang melejit melampaui dunia timur.

Tak hanya itu, institusi inklusif ekonomi dan politik yang digadang-gadang Acemoglu dan Robinson berbasis demokrasi liberalnya Fukuyama di Barat, diungkapkan Fukuyama sebagai realitas paling bobrok, birokrasi sebagai simbol insitusi inklusif adalah pusat segala kebobrokan yang menyebabkan pembusukan politik, political decay.

Secara sederhana kemakmuran dalam benak Barat, hanyalah kemakmuran berbasis materialisme, tidak lebih. Begitu kira-kira jika kita melihatnya hanya dalam kategori-kategori praksis pragmatis seperti yang tengah menjadi fokus dunia Barat. Berbeda pandang dengan penulis buku ini yang mengatakan bahwa, “kemakmuran seharusnya, adalah bagian dari integralitas berjiwa langit untuk memberikan yang terbaik bagi umat, dan setiap manusia maupun masyarakat di dalamnya memiliki hak, keinginan, kebersamaan yang sebenarnya, serta kebaikan yang perlu didakwahkan kepada siapapun untuk mencapai ummatan wahidah sekaligus wasatha. Umat yang utama, sekaligus umat yang sejahtera seiring sejalan. Sangat disayangkan memang apabila kita sudah dipenjarakan dalam kenyataan pikiran dan laku pragmatisme dunia, materialisme, liberalisme dan sekularisme yang terekam di dalamnya, Deus Absconditus, Tuhan ada, namun Tuhan dianggap sudah pensiun. Jika demikian, sungguh itu adalah realita yang begitu menyedihkan.

Melihat kondisi umat Islam Indonesia yang saat ini kian terpuruk dan diistilahkan oleh penulis dengan term “dramaturgi dan subhat komunal negeri” inikah wajah kebudayaan nasional kita sekarang? Kita lihat gejolak sosial terdahulu misalnya, aksi berujung kematian lima orang guru (honorer) hanya karena aspirasi kesejahteraan dan bahkan sebatas status sosial  dan tak pelak di sisi lain terjerembablah kita pada arus LGBT hasil pendidikan puluhan tahun negeri tanpa desain jelas, sisi lainnya pula negara membuat kebijakan antisipatif secara masif aksi terorisme. Belum lagi gerakan jutaan manusia dari daratan Cina ke Indonesia, baik terang-terangan maupun tak kasat mata, lewat jalan manapun.

Apakah empat contoh gejolak sosial tersebut pernah ditangkap dalam satu frame “gagap kebudayaan” (Sebagaimana Daniel Bell menyebutnya kontradiksi budaya)? Apakah negeri ini memang punya style selalu melakukan antisipasi parsial tanpa mengkaji lebih dalam dan substantif persoalan-persoalan sosial sebagai masalah kebudayaan? Sebenarnya apa yang terjadi dengan negeri ini.

Negeri ini milik bersama, umat islam harus terdepan mengajak entitas umat lain membangun kebudayaan dalam kerangka religi, bukan lainnya. Negeri harus diselamatkan lewat konsolidasi kebudayaan, kebudayaan beragama. Masih ada waktu, menjelang takdir 100 tahun munculnya tajdid (pembaharu) sebagai simbol kemenangan yang harus diraih sejak 1924 kongres Al-Islam ketiga di Surabaya, saat ini menjelang 2024 melakukan perubahan dengan mengedepankan kebudayaan dalam kerangka religiositas, kebudayaan bermarwah masjid, sedangkan pasar tetap perlu tetapi harus diletakkan di kodrat aslinya, bukan menjadi superior dibanding masjid (seperti saat ini dan telah menjadi kebenaran umum).

Kelebihan:

1).    Salah satu buku yang mencoba membincangkan peradaban dunia dan nusantara dengan kacamata analisis kritis penulis.

2). Memiliki ruang lingkup pembahasan yang cukup komprehensif dan visioner dalam membaca gejala-gejala globalisasi yang membingungkan.

3).   Terdapat beberapa tabel, diagram dan gambar ilustrasi yang secara proporsional disajikan oleh penulis di buku ini sehingga memudahkan pembaca memahaminya.

Kekurangan:

1).    Tulisan dalam buku ini tergolong lumayan berat jika dibaca oleh masyarakat awam yang semestinya ditulis juga arti kata-kata yang sukar dipahami dalam lembar glosarium.

2).  Terdapat beberapa pernyataan dari beberapa ahli yang dikutip dengan bahasa Inggris namun tidak ditulis artinya yang memudahkan pembaca untuk memahami maknanya.