Kamis, 21 Mei 2020

MENABUNG RINDU UNTUK INDONESIAKU


[ JJB Ke #35, Series: #LiterasiLawanPandemi ]

Jangan dulu mudik lebaran
Tunggu sampai semua aman
Walau rindu kampung halaman
Bulan Ramadhan di rumah aja...
(Lirik lagu “Jangan Mudik”-Radja)

Sumber Gambar: Ayobandung.com


Adalah sebuah musik, salah satu dari sekian hal yang bisa menjadi obat penenang untuk memperbaiki suasana hati. Setidaknya itulah yang diungkapkan oleh para ilmuwan dari University of Missouri, Kolombia. Sejalan dengan itu, beberapa musisi Indonesiapun menciptakan lagu yang berisi himbauan untuk tidak mudik di saat musim pandemi covid-19 ini. Sebut saja, Radja band dengan lagu “jangan mudik” nya, Harry Yamba dengan lagu “Ra Mudik Rapopo”-nya, Didi Kempot dengan lagu “Ora Bisa Mulih” dan “Ojo Mudik”-nya dan lain-lain. Tidak tanggung-tanggung, beberapa lagu tersebut bahkan sampai dicover atau dinyanyikan oleh para menteri dan pejabat negara.

Lagu tersebut tercipta bukan hanya sebagai kampanye himbauan agar masyarakat tidak mudik, tetapi juga termasuk mewakili suasana batin masyarakat Indonesia yang tidak bisa mudik lebaran sebab adanya pandemi ini. Lagu ‘Ora Biso Mulih’ misalnya, lagu ini secara lirik bisa dibilang sederhana namun sangat menyentuh sanubari setiap insan manusia yang patah hati akibat rindu keluarga di kampung halaman tapi tidak bisa pulang akibat satu dan lain hal. Musabab peraturan pemerintah yang melarang untuk mudik demi memutus mata-rantai penularan virus korona ini misalnya.

“Tapi akukan sudah rindu sama kampung halaman, rindu bunda, rindu ayah, rindu adik, rindu istri, rindu kakek, rindu nenek. Aku sudah sangat rindu dengan semua yang ada di sana, aku sudah tidak sabar ingin bertemu mereka,” begitulah ego diri dalam mencari sebuah pembenaran. Dalam hal ini, mungkin kita sepakat bahwa sebagai warga perantauan kita punya perasaan yang sama soal rindu kampung halaman. Terlebih bagi perantau yang biasanya hanya bisa mudik setahun sekali ketika libur hari raya,  saat ini harus ditunda sebab adanya pandemi. Ya, mau tidak mau kita harus rela “menabung rindu” dulu untuk sementara waktu.

Menabung rindu sampai semua aman. Sebab, rasa cinta kita terhadap keluarga tidak mesti dimanifestasikan dengan kita bertemu saat lebaran saja. Bila bertemu justru akan memicu penyebaran penyakit ke orang tercinta, apakah itu masih layak disebut cinta? Saya rasa jawabannya adalah tidak. Toh, jika nanti semua sudah aman kita masih bisa untuk pulang ke kampung halaman kan? Tidak mudik bukan berarti kita tidak sayang dengan keluarga, dengan tidak mudik kita tunjukkan rasa sayang dengan cara yang berbeda.

Gambar: Foto keluarga di kampung halaman.


Beberapa hari yang lalu sempat terjadi viral di media sosial sebuah postingan yang menunjukkan  keramain di tengah pandemi. Hal tersebut menuai kecaman dan kontroversi di jagad maya. Sebab jelas-jelas dengan adanya keramaian itu beberapa masyarakat dinilai tak mengindahkan anjuran untuk physical distancing atau menjaga jarak saat pemberlakuan PSBB ini. Sebut saja contohnya padatnya antrian penumpang maskapai di Bandara Soekarno Hatta (13/05/2020), padatnya antrian penumpang kapal di Gilimanuk (17/05/2020) dan masih ada beberapa lagi. Hal ini sudah pasti menimbulkan kekecewaan masyarakat yang sampai saat ini masih konsisten untuk tetap mengindahkan anjuran physical distancing. Masyarakat yang masih optimis bahwa pandemi ini dapat segera berlalu jika kita mau bersatu untuk bersama-sama melawannya.

Hastag #IndonesiaTerserah dan #TerserahIndonesia pun menyusul viral di dunia maya. Hal ini ditengarai dengan kekecewaan para tenaga medis yang kita tahu mereka adalah barisan garda terdepan dalam penanganan korban covid-19 ini. Menurut saya wajar mereka kecewa dan menunjukkan kekesalannya di dunia maya akibat ulah warga yang tak patuh terhadap peraturan PSBB. Pun dengan imbas kebijakan pemerintah yang membuka kembali mode transportasi umum di saat pandemi. Kendati, kebijakan itu diambil untuk menyelamatkan perekonomian dan hanya orang-orang berkebutuhan khusus saja yang diperbolehkan naik transportasi tersebut, tetap saja itu dinilai akan membuat bingung petugas di lapangan dan pemerintah daerah dalam melaksanakan aturan PSBB.

Tak hanya itu, Najwa Shihab dalam program Catatan Najwa-nya lewat unggahan di Youtube dan akun Instagram-nya juga membuat konten berjudul “Kita Tidak Sia-Sia #dirumahaja” sebagai respon terhadap keresahan masyarakat tersebut. Di dalam narasinya Najwa Shihab juga membacakan beberapa pesan dari tenaga medis yang dikirim kepadanya. Berikut adalah salah satu pesan dari seorang perawat atas nama @syafakirthe :

“Percuma kayaknya kita di sini, pakai APD selama 8 jam, menahan semuanya selama 8 jam termasuk BAK dan BAB, buka puasa terkadang jam 8 malam, sahur jam 2 pagi. Pemerintah menganjurkan jaga jarak, pakai masker dan tidak mudik tapi kalian malah mengabaikan anjuran tersebut. Jangan puji kami di dunia sosial media, tapi di dunia nyata kalian berkeliaran serta pulang kampung seolah-olah baik saja,” keluhnya.

Sebagai manusia biasa, sebenarnya sah-sah saja jika kita merasa kecewa dengan hal tersebut. Tapi itu semua itu jangan sampai melunturkan niat nan tekad kita dalam memerangi dan memutus rantai persebaran virus covid-19 ini. Seperti pesan mbak Nana dalam videonya, ”pandemi ini adalah problem yang hanya bisa ditangani secara kolektif, perlu kontribusi semua orang. Makanya perlu menyadari bahwa ini bukan hanya untuk demi sendiri saja namun juga demi orang lain. Kita melakukan ini untuk para tenaga medis yang sudah bertaruh nyawa. Untuk para karyawan yang sudah dirumahkan berminggu-minggu. Untuk para pengusaha yang terpaksa menutup usahanya dan untuk bangsa-negara yang sudah merugi sangat banyak.”

Tak ada yang sia-sia memang jika kita melakukan ini semua demi orang-orang yang kita sayangi. Tetaplah konsisten dengan jalanmu kawan. Bulatkan tekadmu, tunda mudik, tetap jalankan physical distancing, kenakan protokol kesehatan saat keluar rumah dan yang paling penting sebisa mungkin usahakan untuk #diRumahAja. Together We Can Do It! Dan bagi kaum muslim mari kita ingat sabda beliau Nabi di bawah ini:

“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu”-(HR.Bukhori).

Sidoarjo, 21 Mei 2020 || Budi Setiawan



Senin, 18 Mei 2020

Bijak Bermedia, Kritis di Era Krisis


[ JJB ke #34, Series: #LiterasiLawanPandemi ]





Belakangan, sebenarnya saya sudah agak malas membicarakan soal media. Bukan sebab saya sudah nggak aktif lagi di pers mahasiswa, akan tetapi saya sudah menginjak pada tangga kecewa sebab kenapa kok justru konten-konten yang bermuatan negatif yang banyak menjadi trending belakangan ini. Sementara konten-konten yang bermuatan positif, inspiratif dan mengedukasi justru sebaliknya. Kebayang nggak sih, sebetulnya bagaimana algoritma media itu bekerja sehingga hal di itu bisa terjadi?

Tidak munafik! Saya sendiri mungkin menjadi salah satu bagian dari jutaan pemirsa pengkonsumsi konten negatif tersebut. Walaupun disatu sisi hati saya berontak menolaknya. Instagram misalnya, dari sekian banyak postingan yang bernilai positif, postingan negatif masih merajainya. Mulai dari tersebarnya berita hoax soal telur rebus obat korona, hebohnya aksi kelulusan anak SMA di Riau, pembulyan bocah penjual jalangkote, hingga goyangan sexy “mama muda” ala tik tok. Sealim-alimnya cowok kalau liat goyangan mama muda, ya pada akhirnya akan ikut goyang juga keles..!!!

Sejujurnya tulisan ini bermula ketika seorang teman mantan sesama pengurus persma dulu Wa saya dan meminta untuk share info gimana cara mendapatkan jodoh menyaring info yang sifatnya hoax. Dia merasa resah ketika di lingkungan rumahnya barusan terdengar desas-desus ada yang positif korona, akhirnya semua pada heboh bikin status a, b, c. Dan ternyata setelah diketahui beritanya itu nggak benar alias hoax. “Ngilu rasanya gigiku dengar dan bacanya mas,” sambatnya.

Oke, kita mulai pembahasannya. Dahulu kala ketika saya masih memimpin rezim UKM Jurnalistik Mahardhika pernah membuat workshop jurnalistik dengan “Bijak Bermedia, Kritis di Era Krisis”. Saat itu saudara Vais Lubis dari Redaktur Online yang mengusulkan temanya. Tema yang menurut saya waktu itu lumayan keren. Namun tempo hari saya berpikir, “sepertinya tema ini justru sangat relevan untuk kondisi krisis seperti ini ya.” Disaat terjadinya krisis akibat pandemi ini semestinya memang kita harus bisa bersikap dan berpikir kritis. Tidak hanya kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat,  bagaimana menyelamatkan masalah ekonomi agar tetap bisa bertahan hidup pun dengan pemberitaan masalah korona di media.

Semua itu tak luput dari bagaimana kita untuk menyikapinya dengan cara berpikir kritis. Sehingga pada akhirnya, perilaku “bijak bermedia” lah yang akan menjadi implikasinya. Berbicara masalah kabar palsu atau hoax seputar korona, sudah ada sekitar 556 berita hoax yang beredar menurut data dari Kementerian dan Informatika. Melangsir info dari Detiknews (18 April 2020). Angka yang sungguh fantastis, itu belum termasuk ditambah data hoax yang terjadi pada bulan Mei ini. Lalu bagaimana cara kita menangkalnya?

Terdapat dua langkah yang bisa dilakukan menurut presidium Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) Harry Sufehmi. Karena  mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, upaya menangkal berita hoax itu sebenarnya sudah terdapat dalam ilmu hadis. Jadi sejak pada zaman dahulu sudah ada namanya hoax berupa hadis dhoif (bohong) sehingga akhirnya para ‘ulama membuat ilmu hadist. Dua langkah untuk mendeteksi hoax itu dasarnya simpel yaitu dengan melihat  Sanad dan Matan. Sanad adalah sumber berita dan matan adalah kontennya.

a. Perhatikan Sanad atau Sumber Beritanya
Hal pertama yang perlu kita lakukan untuk menepis info hoax seputar virus korona adalah dengan melihat sumber dari berita yang beredar tersebut. Apabila info yang kita terima itu tidak jelas sumbernya dari mana, sebaiknya kita abaikan saja informasi tersebut. Skipp ajalah, tidak perlu pusing-pusing dengan berita yang tidak jelas sumbernya.

b. Perhatikan Matan atau Kontennya

Lalu menganai Matan atau kontennya, isi dari beritanya ini kira-kira ada yang aneh nggak. Aneh di sini maksudnya adalah ketika berita itu dibaca kita spontan langsung merasa emosi, langsung marah atau gusar, merasa takut dan berlawanan dengan info yang kita dapatkan di media massa yang kredible  seperti media Tempo, Liputan6.com, Jawapos, Detik.com dan media lain yang terverifikasi oleh Dewan Pers. Maka jika begitu beritanya bisa kita anggap hoax hingga terbukti kebenarannya.

Memerangi berita hoax dan konten negatif adalah tugas semua masyarakat. Kendati berselancar di media sosial (instagram, facebook, twitter), whatshapp dan youtube menjadi suatu rutinitas kaum milenial di saat senggang tapi kita harus juga bijak dalam menyikapinya. Media sosial layaknya mimbar bebas, begitu banyaknya yang sekedar menunjukkan eksistensi diri, beropini dan bahkan sebagai tempat meluapkan emosi, kekecewaan ataupun kegembiraan. Hingga tak ada aturan baku mengenai cara berperilaku bijak di media sosial tersebut.

Syahdan, kita sendiri yang harus bisa mengontrolnnya dan membuat batasan atas perilaku bijak tersebut. Dan jangan lupa belakangan pemerintah juga membuat UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang bisa mempidanakan pelanggarnya. Terlepas dari pro dan kontra terhadap kebijakan UU ITE itu, demi kebaikan bersama ada baiknya kita juga harus memperhatikan norma-norma yang berlaku ketika sedang mengakses dan berselancar di media sosial. Sebab, masing-masing dari kita adalah “konten kreator” yang akan mempertanggungjawabkan dari postingan-postingan kita.

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu informasi, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS.Al-Hujaraat:6)

Sidoarjo, 18 Mei 2020 || Budi Setiawan