[JJB Ke #16]
Bukan (Sebenar-benarnya) Orang Sibuk
“Maka apabila kamu telah selesai dari satu urusan maka kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh urusan yang lain”. (QS.Al-Insyirah:7)
Foto pribadi |
Salah satu fakta tentang
kehidupan modern yang tak terbantahkan adalah betapa banyaknya orang yang
merasa dirinya sibuk. Dan seperti yang kita ketahui bersama sibuk karena
pekerjaan menjadi salah satu alasan yang seringkali dilontarkan. Orang sibuk
dianggap sebagian orang punya nilai lebih (value-added).
Orang sibuk juga dianggap menjadi manusia yang lebih penting daripada orang
yang tidak punya kesibukan. Ya, menurutku pengakuan seperti itu sah-sah saja
selama orang tersebut lebih produktif daripada yang lain. Dalam arti dia bisa
menghasilkan hasil karya yang lebih diatas rata-rata orang.
Berdasarkan kabar yang dimuat
diportal berita online bbc.com disebutkan bahwa, kita merasa jauh lebih sibuk
belakangan ini karena pekerjaan kita lebih banyak. Namun kita salah. Jumlah jam
kerja – yang dibayar maupun tidak – tidak bertambah dalam beberapa dasawarsa
terakhir. Setidaknya di Eropa atau
Amerika utara. Lain halnya menurut pandangan Asisten Profesor Pemasaran di
Columbia Bussiness School, Silvia Bellezza mengutarakan bahwa, “Di negara
Italia, pada bulan juni, kalau anda mengatakan akan bekerja sepanjang musim
panas, orang akan menganggap anda pecundang yang tidak berduit (untuk berlibur)
dan tidak menarik,”bebernya.
Saat kita mendapat jawaban
“sibuk” seringkali kita menjadi tidak tertarik untuk tau mereka sedang sibuk
apa? Karena bisa jadi tidak ingin dianggap kepo. Namun kepada orang yang kita
anggap cukup dekat, tentu saja ada keberanian untuk menanyakan atau hanya
sekedar basa-basi. Alasan “sibuk” seakan sudah menjadi jurus andalan dalam
medan perang di dunia modern ini.
Jika kita berbicara tentang siapa
yang layak disebut sebagai orang tersibuk di Indonesia, maka kita sulit untuk
menolak bahwa orang tersebut adalah presiden RI. Sebagai kepala negara dan
orang nomer satu di Indonesia sudah barang tentu bisa kita anggap sebagai
sesibuk-sibuknya orang. Tapi apakah benar begitu? Ternyata tidak. Ditengah
anggapan bahwa presiden adalah orang tersibuk di Indonesia ternyata masih ada
yang sempat dan bisa menyalurkan hobinya untuk menulis buku, bikin lagu dan
menyanyi. Ya, siapa lagi kalau bukan bapak Susilo Bambang Yudoyono (SBY) atau
lebih dikenal dengan nama pak Beye. Ini menjadi tamparan keras bagi saya bahwa
orang yang notabene-nya nomer satu di Indonesia saja masih bisa produktif untuk
menyalurkan hobinya. Lalu bagaimana dengan orang-orang kurang penting seperti
saya? He.
Ah, sepertinya terlalu naif jika
saya dengan pedenya menganggap diri ini sudah terlalu sibuk. Padahal
kenyataannya berlawanan. Bahkan bisa jadi alasan klise itu cuma jadi pembenaran
untuk tidak mengerjakan tugas-tugas kampus misalnya, atau mungkin bisa jadi
alasan untuk tidak menghadiri suatu undangan dan pertemuan. Seringkali kita
saat jauh dengan orang tua, mereka menanyakan kepada kita, “Kok jarang ngasih
kabar to le?” lalu kita jawab,”nggih buk, soalnya saya sibuk, banyak pekerjaan yang
harus saya selesaikan”. Yakin sesibuk itu? Hingga memberi kabar kepada orang
tua pun kita tak ada waktu? Padahal kenyataannya kita setiap hari punya saja
waktu untuk update status di sosmed
dan chatting gebetan atau pacar.
Mungkin lebih tepatnya dibilang saja “sok sibuk” itu mungkin lebih baik.
Membuat alasan “sibuk” berarti
membatasi diri saya untuk lebih produktif dalam beramal. Dan pasti akan ber-impact terhadap buah hasil dari usaha
saya selama ini. Saya merasa yakin diluar sana orang-orang yang sudah sedikit
banyak menemukan singgasana kesuksesannya pasti punya jam terbang yang lebih
tinggi daripada kita. Kalau saya mah jangankan terbang tinggi, suruh benerin
genteng yang bocorpun masih ogah-ogahan karena takut jatuh. Sepertinya saya
rasa perlu belajar menjadi Spiderman, agar bisa memanjat lebih tinggi dan nggak
takut jatuh lagi.
Foto pribadi |
Yang harus kita sadari adalah
dibalik kesuksesan pasti ada keringat, air mata dan bahkan darah yang harus rela
dikeluarkan. Kemenangan kaum muslimin melawan kafir quraisy pada saat perang
badar dizaman Rasulullah, tidak lepas dari perjuangan yang sangat melelahkan.
Banyak air mata dan darah kaum muslimin yang harus di ikhlaskan pada pada saat
itu. Bisa kita bayangkan, seandainya sahabat-sahabat nabi tidak punya
keberanian mengambil resiko untuk perang jihad pada waktu itu dengan dalih
“sibuk” mengurusi pekerjaan, bagaimana nasib umat muslim? Sangat mustahil bukan
dari 313 pasukan kaum muslimin yang menghadapi 1000 pasukan suku quraisy
memenangkan sebuah peperangan seandainya sebelum berperang nyali kaum muslimin
sudah ciut.
Sidoarjo, 17 Oktober 2017 || Budi Setiawan