[ JJB ke #34, Series: #LiterasiLawanPandemi ]
Belakangan, sebenarnya saya
sudah agak malas membicarakan soal media. Bukan sebab saya sudah nggak aktif
lagi di pers mahasiswa, akan tetapi saya sudah menginjak pada tangga kecewa
sebab kenapa kok justru konten-konten yang bermuatan negatif yang banyak
menjadi trending belakangan ini.
Sementara konten-konten yang bermuatan positif, inspiratif dan mengedukasi
justru sebaliknya. Kebayang nggak sih, sebetulnya bagaimana algoritma media itu
bekerja sehingga hal di itu bisa terjadi?
Tidak munafik! Saya sendiri
mungkin menjadi salah satu bagian dari jutaan pemirsa pengkonsumsi konten negatif
tersebut. Walaupun disatu sisi hati saya berontak menolaknya. Instagram
misalnya, dari sekian banyak postingan yang bernilai positif, postingan negatif
masih merajainya. Mulai dari tersebarnya berita hoax soal telur rebus obat
korona, hebohnya aksi kelulusan anak SMA di Riau, pembulyan bocah penjual
jalangkote, hingga goyangan sexy “mama
muda” ala tik tok. Sealim-alimnya cowok kalau liat goyangan mama muda, ya pada
akhirnya akan ikut goyang juga keles..!!!
Sejujurnya tulisan ini bermula
ketika seorang teman mantan sesama pengurus persma dulu Wa saya dan meminta untuk share
info gimana cara mendapatkan jodoh menyaring info yang sifatnya hoax. Dia merasa resah ketika di
lingkungan rumahnya barusan terdengar desas-desus ada yang positif korona,
akhirnya semua pada heboh bikin status a, b, c. Dan ternyata setelah diketahui
beritanya itu nggak benar alias hoax.
“Ngilu rasanya gigiku dengar dan bacanya mas,” sambatnya.
Oke, kita mulai pembahasannya.
Dahulu kala ketika saya masih memimpin rezim UKM Jurnalistik Mahardhika
pernah membuat workshop jurnalistik dengan “Bijak Bermedia, Kritis di Era
Krisis”. Saat itu saudara Vais Lubis dari Redaktur Online yang mengusulkan temanya.
Tema yang menurut saya waktu itu lumayan keren. Namun tempo hari saya berpikir,
“sepertinya tema ini justru sangat relevan untuk kondisi krisis seperti ini ya.”
Disaat terjadinya krisis akibat pandemi ini semestinya memang kita harus bisa
bersikap dan berpikir kritis. Tidak hanya kritis terhadap kebijakan pemerintah
yang tidak pro terhadap rakyat, bagaimana
menyelamatkan masalah ekonomi agar tetap bisa bertahan hidup pun dengan
pemberitaan masalah korona di media.
Semua itu tak luput dari
bagaimana kita untuk menyikapinya dengan cara berpikir kritis. Sehingga pada
akhirnya, perilaku “bijak bermedia” lah yang akan menjadi implikasinya.
Berbicara masalah kabar palsu atau hoax seputar
korona, sudah ada sekitar 556 berita hoax
yang beredar menurut data dari Kementerian dan Informatika. Melangsir info
dari Detiknews (18 April 2020). Angka yang sungguh fantastis, itu belum
termasuk ditambah data hoax yang
terjadi pada bulan Mei ini. Lalu bagaimana cara kita menangkalnya?
Terdapat dua langkah yang bisa
dilakukan menurut presidium Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) Harry
Sufehmi. Karena mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam, upaya menangkal berita hoax itu sebenarnya sudah
terdapat dalam ilmu hadis. Jadi sejak pada zaman dahulu sudah ada namanya hoax berupa hadis dhoif (bohong) sehingga akhirnya para ‘ulama membuat ilmu hadist.
Dua langkah untuk mendeteksi hoax itu
dasarnya simpel yaitu dengan melihat Sanad dan Matan. Sanad adalah
sumber berita dan matan adalah kontennya.
a.
Perhatikan Sanad atau Sumber Beritanya
Hal pertama yang perlu kita
lakukan untuk menepis info hoax seputar
virus korona adalah dengan melihat sumber dari berita yang beredar tersebut.
Apabila info yang kita terima itu tidak jelas sumbernya dari mana, sebaiknya
kita abaikan saja informasi tersebut. Skipp
ajalah, tidak perlu pusing-pusing dengan berita yang tidak jelas sumbernya.
b.
Perhatikan Matan atau Kontennya
Lalu menganai Matan atau kontennya, isi dari beritanya
ini kira-kira ada yang aneh nggak. Aneh di sini maksudnya adalah ketika berita
itu dibaca kita spontan langsung merasa emosi, langsung marah atau gusar, merasa
takut dan berlawanan dengan info yang kita dapatkan di media massa yang kredible seperti media Tempo, Liputan6.com, Jawapos, Detik.com
dan media lain yang terverifikasi oleh Dewan Pers. Maka jika begitu beritanya
bisa kita anggap hoax hingga terbukti
kebenarannya.
Memerangi berita hoax dan konten negatif adalah tugas
semua masyarakat. Kendati berselancar di media sosial (instagram, facebook,
twitter), whatshapp dan youtube menjadi suatu rutinitas kaum milenial di saat
senggang tapi kita harus juga bijak dalam menyikapinya. Media sosial layaknya
mimbar bebas, begitu banyaknya yang sekedar menunjukkan eksistensi diri,
beropini dan bahkan sebagai tempat meluapkan emosi, kekecewaan ataupun
kegembiraan. Hingga tak ada aturan baku mengenai cara berperilaku bijak di
media sosial tersebut.
Syahdan, kita sendiri yang
harus bisa mengontrolnnya dan membuat batasan atas perilaku bijak tersebut. Dan
jangan lupa belakangan pemerintah juga membuat UU ITE (Informasi dan Transaksi
Elektronik) yang bisa mempidanakan pelanggarnya. Terlepas dari pro dan kontra
terhadap kebijakan UU ITE itu, demi kebaikan bersama ada baiknya kita juga
harus memperhatikan norma-norma yang berlaku ketika sedang mengakses dan
berselancar di media sosial. Sebab, masing-masing dari kita adalah “konten
kreator” yang akan mempertanggungjawabkan dari postingan-postingan kita.
“Wahai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
informasi, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS.Al-Hujaraat:6)
Sidoarjo,
18 Mei 2020 || Budi Setiawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar