“Waduh... Piye bro iki?” (waduh... bagaimana bro ini) tanya saya
kepada teman-teman saya dengan raut muka yang disertai kekecewaan.
Belum juga menaruh tas carrier yang membebani pundak kami saat
perjalanan Surabaya-Cemoro Sewu, Magetan dengan kuda besi. Kami langsung
diterpa dengan kabar buruk tentang tutupnya pendaftaran pendakian. Aku kira
Lawu sedang ditutup jalur pendakiannya sebab ada kejadian meninggalnya seorang
survivor dua Minggu sebelumnya. Ternyata, usut punya usut jam pendaftarannya
saja yang sudah tutup. Pendaftaran baru ditutup 30 menit sebelumnya, sedangkan
kami datang pukul 15:30 sore.
Syahdan, kami berembuk dan
memutuskan untuk numpang tidur di basecamp
cemoro sewu saja. Kendati menurut info tukang parkir di sana banyak villa yang
di sewakan, tapi lebih baik kami tidur menggembel saja di basecamp untuk menghemat. Toh, tujuan awal kami mendaki bukan untuk
tidur di Villa tapi tidur di tenda.
Buru-buru kami bergegas ke basecamp dan menyalami beberapa penjaga basecamp dan pendaki lain yang bernasib
sama dengan kami. Mereka terlihat
sedang duduk-duduk di teras basecamp. Setelah
basa-basi memperkenal diri kami pun diminta menaruh tas di dalam basecamp.
Kemudian teman-teman saya merebahkan diri di kasur yang tergelar di ruang tamu
tersebut, sementara saya sendiri yang terbiasa bersosialisasi dengan orang lain
memilih untuk ikut jagongan mas-mas penjaga basecamp
di teras. Padahal aslinya dulu saya orangnya pendiam, cuma karena tuntutan
pekerjaan dan organisasi saya akhirnya mulai terbiasa untuk speek up dan jadilah sedikit extrovet.
Tapi namanya juga sudah menjadi
karakter, sebaik apapun kita menyembunyikannya sifat asli pendiam saya selalu
saja diketahui oleh orang lain. He.
Selepas itu saya mengajak
teman-teman saya untuk sholat di mushola bawah jalan raya sembari berjalan kaki.
Ketika hendak berwudhu Brrrrr.... rasanya
sumpah adem banget airnya, pikir saya. Sehabis sholat kami putuskan untuk
mencari warung untuk sekedar mengisi perut yang mulai keroncongan. Sate
kelincipun saya pesan karena penasaran dengan rasanya. “Gak kasihan ta mas sama
kelincinya?” tanya si Fifi. “Lah.. kenapa emang?,” tanya saya. “Ya kasihan aja,
kelinci kan lucu masak sampean tega memakannya”. “hehe.. iya sih. Penasaran
aja,” jawab saya sekenanya yang tak sabar untuk segera menyantapnya. Saya adalah tipikal orang yang tidak bisa
diajak diskusi ketika perut sedang kosong. Maka jangan heran, saat saya diam
aja itu berarti saya sedang laper. Solusinya, ya kasih aja makanan biar ngoceh
terus. He
“Mas, sudah dapat tempat tidur?”
sapa penjaga basecamp yang baru ku kenal dengan nama Zainuddin.
“Belum mas din..”
“Buruan aja booking tempat tidurnya, kasih
tanda matras atau sleeping bag. Mumpung masih sore masih sepi.” Terangnya.
Kamipun mengangguk tanda menyetujuinya. Kemudian si Ardi dan Fifi masuk ke
dalam untuk mencari sekaligus booking tempat tidur untuk malamnya. “Oh... ternyata
caranya dapatin tempat tidur di basecamp
seperti itu” gumam saya. Memang semenjak saya mulai jatuh cinta dengan dunia
pendakian, baru kali ini merasakan tidur di basecamp
jalur pendakian. Ini merupakan pengalaman sekaligus pelajaran baru.
Malam harinya, setelah mendapat
info dari penjaga basecamp bahwa
kira-kira 200 M dari basecamp sudah
sampai di perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah. Fifi, gadis
berperawakan kecil yang bermental baja ini mengajak saya, Anggi dan Ardi ke
perbatasan. Aku baru kenal Fifi kurang lebih tiga minggu sebelum keberangkatan.
Di mataku dia adalah wonder woman-nya
arek Sidoarjo. Latar belakang keluarga yang dia ceritakan, telah menjadikannya
seorang gadis yang tangguh. Diusianya yang masih menginjak usia quarter life crisis dia sudah punya usaha counter hp sendiri.
Kamipun berjalan kaki menuju
perbatasan sembari beradaptasi dengan hawa dingin Cemoro Sewu yang kala itu
sekitar 8°C.
Itu masih di kaki gunungnya, bagaimana nanti kalau sudah di puncak? Pikir kami.
Sehabis membuat video seru-seruan, kami ngopi lagi untuk menghangatkan badan
dengan segelas jahe. Setelahnya kami kembali lagi ke basecamp. Sebelum beranjak tidur ada hal yang mengejutkan teman
saya Anggi. Lebih tepatnya memalukan. Kala kami berempat sedang nongkrong
dengan para penjaga basecamp sambil
bermain gitar untuk memecah keheningan malam. Anggi tiba-tiba tanpa disengaja
minum alcohol milik si penjaga basecamp yang diwadahi aqua botol. Dia
kira itu air minum dan tanpa permisi langsung ditegugnya. Setelah itu buru-buru
dia ke belakang untuk memuntahkannya.
“Rasanya segar mas?” tanya
penjaga basecamp.
“Iya mas,” jawab Anggi sambil
nyengir.
Dasar Anggi, begitulah akibatnya
jika minum tidak tanya dan permisi dulu ke yang punya. Hehe.
Keesokan harinya, kami
dibangunkan oleh suara ibu-ibu yang menjajakan nasi bungkus dan gorengannya ke
basecamp. Padahal waktu itu kami masih enak-enaknya tidur. Waktu masih
menunjukkan pukul 4 pagi, sementara ibu-ibu itu sudah dengan enaknya
membangunkan mimpi indah kami. Ah, tidak apa-apa. Justru karena suara nyaring
ibu-ibu itu kami bisa terbangunkan untuk menunaikan kewajiban sholat shubuh.
Benar kata Al-qur’an, tak ada yang sia-sia segala sesuatu itu diciptakan.
Sehabis sholat shubuh Fifi
menawari saya, Ardi dan Anggi untuk membeli nasi bungkus ibu tadi. Mungkin
karena kami kasihan dengan jerih payah ibu itu dan disertai dengan perut yang
mulai keroncongan sebab hawa dingin pegunungan. Kamipun membeli nasi bungkus ke
Ibu itu dan sarapan bersama di dalam basecamp.
Setelah kami berkemas untuk
melakukan pendakian, saya kemudian pergi ke pos jaga masuk jalur pendakian
untuk melakukan pedaftaran dan membayar SIMAKSI. Ternyata banyak teman-teman
saya yang belum tahu juga tentang SIMAKSI. “Apa itu SIMAKSI?” begitu tanyanya.
SIMAKSI bukan, SI EMAK SEKSI, bukan. SIMAKSI atau Surat Izin Masuk Kawasan
Konservasi merupakan dokumen bukti legalitas orang untuk melakukan aktivitas
tertentu dalam kawasan konservasi. Misalnya untuk melakukan pendakian.
“Sebelum melakukan pendakian,
mari kita berdoa kepada Allah SWT. Agar diberi kelancaran dan kesehatan selama
diperjalanan ke puncak Lawu. Semoga kita berangkat dengan selamat, pulangpun
dengan selamat. Berdoa... dipersilahkan!” ucap saya memimpin doa. Berharap
kepada sang Maha kuasa agar diberi keselamatan selama perjalanan mendaki.
Kamipun akhirnya berangkat
melakukan pendakian dengan riang gembira dan semangat membara untuk mencapai
puncak Lawu. Ku tengok jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 8:30 pagi. Belum
genap berjalan 10 menit, Fifi sudah mengajak istirahat. Setelah beberapa saat
berjalan lagi, lagi-lagi Fifi berhenti dan kulihat nafasnya yang ngos-ngosan.
“Jangan bilang ah..ah.. gitu fi,”
Ardi mengajak bercanda.
“Lho enggak Di.. wong lagi capek kok,” timpalnya.
“Atur nafasnya yang baik Fi,
belajar pernafasan. Biar nggak kayak orang lagi panik gitu. Sini aku ajarin
cara ngatur nafas” ucap saya, disertai dengan latihan nafas agar tidak mudah
ngos-ngosan selama berjalan.
Sedari awal saya dan Ardi sudah memperkirakan.
Fifi pasti akan sedikit kepayahan saat naik. Terlebih selain dia cewek sendiri
dalam rombongan kami, Fifi juga tampak tak begitu memedulikan persiapan saat
pendakian. Pelatihan fisik seperti berlari enggan melakukannya, memakai sepatu
casual dan hanya memakai jaket biasa. Padahal bagi pemula, persiapan itu mutlak
dipersiapkan matang-matang. Tapi karena dia bersikukuh untuk ikut mendaki,
kamipun membolehkannya ikut.
Selama perjalan ke Pos satu, kami
isi dengan bercanda ria, dengan membuat video nyanyi-nyanyi untuk menghibur
diri selama perjalanan. Di pos satu kami langsung menuju shelter untuk rehat sejenak. Di sebelah jalan terdapat warung yang
menjajakan gorengan dan nasi kepada pendaki. Baru kali ini saya melakukan
pendakian dan menemukan warung di jalur pendakian. Memang lawu adalah salah
satu gunung yang banyak warungnya. Bahkan sampai puncaknya yaitu di hargo dalem
ada warung yang sangat fenomenal di kalangan pendaki. Warung ini bernama warung
“Mbok Yem”. Menurut kabar yang beredar di internet, warung mbok yem ini adalah
satu warung tertinggi se-Indonesia. Wow..
Amazing men...!!
Setelah memesan gorengan dan
istirahat sejenak, kamipun kembali melanjutkan perjalan ke pos 2. Jarak Pos 1
ke Pos 2 ini bisa dibilang luamayan panjang. Kira-kira menghabiskan waktu
sekitar 1,5 jam. Selama perjalan kami menemukan keramahan para pendaki yang
saling bertegur sapa sepanjang jalur pendakian walaupun kami tak saling
mengenal. Kurasa hal seperti ini sangat jarang ku temukan di kota. Beberapa
waktu kemudian, saya iseng minta foto dengan seorang gadis manis asal
jawabarat. Anehnya atribut pendakian yang saya bawa dengan gadis itupun banyak
kesamaan. Baik itu baju flanel warna merah yang saya pakai, sepatu dan trekking pole juga sama.
“Cie-cie, samaan. Jangan-jangan
jodoh nih,” ledek Fifi yang sedari tadi menertawakanku saat meminta foto dengan
gadis tersebut. Kamipun lantas berswafoto bersama untuk mengabadikan momen.
Bagi saya foto dalam sebuah petualangan itu penting. Sebab seorang kawan Mapala
(mahasiswa pecinta alam) pernah menasehati, “jangan tinggalkan apapun di gunung
kecuali jejak, jangan ambil apapun di gunung kecuali gambar”. Kendati, pamer
foto bukanlah tujuan utama dalam pendakian. Berfotolah seperlunya dan
selebihnya nikmatilah lukisan Tuhan yang terabadikan dalam bentuk keindahan
alam semesta ini.
Tidak lama setelah itu, kami
berjalan kembali menuju pos 2. Dan tiba-tiba Anggi berjalan dulu ke atas.
Setelah kami mengikutinya diapun berhenti untuk beristirahat di sebuah batu
yang disebut-sebut sebagai watu jago. Melihat dia berhenti sayapun ikut
berhenti dan tiduran dibawah pohon cemara yang begitu sejuk. Setelah kami ingin
melanjutkan perjalan, kami dikagetkan dengan hilangnya Anggi. Dan setelah itu
keganjilanpun dimulai. Saya mencoba menengok ke bawah batu yang lumayan jurang.
Tidak ada, saya mencoba berpikir positif dan meyakinkan rombongan bahwa Anggi
kemungkina besar sudah naik ke Pos 2. Ardi mencoba memanggil-manggil Anggi
dengan suara keras. “Nggik!!” teriaknya. Tak ada jawaban, yang ada hanya
hening. Fifi mulai panik, bahkan sampai ingin balik ke basecamp untuk
melaporkan Anggi.
Sebagai leader aku mencoba untuk menangkan suasana. Meyakinkan mereka bahwa
Anggi pasti berhenti dan menunggu di pos 2. Sesampai di pos 2 kami tak
mendapati si Anggi. Sebenernya dalam hati saya disitu juga mulai panik,
walaupun saya mencoba untuk terlihat biasa-biasa saja. Beberapa pendaki saya
tanyai tentang apakah bertemu dengan Anggi sembari menyebutkan foto dan
ciri-cirinya. Bahkan saya dan Fifi juga menanyai Ita, gadis manis yang kami
ajak foto sebelumnya. Sebab kami lebih dulu berangkat daripada dia. Diapun
menjawab tidak tahu. Hampir satu jam kami berlalu lalang di pos dua, untuk
memastikan keberadaan kawang saya, Anggi. Setelah berdiskusi, kami memutuskan untuk
melanjutkan ke pos 3. Saya lagi-lagi mencoba berpikir positif dan meyakinkan
rombongan. Bahwa Anggi baik-baik saja.
Selama perjalanan Fifi tak
henti-hentinya mengumpat Anggi, “Oh, awas arek iki lek ketemu!” (Oh awas kalau
ketemu anaknya!) ancamnya dengan muka cemberut. Berkali-kali saya dan Fifi
mencoba menghubunginya lewat SMS dan telpon yang terkadang sinyal di sana masih
nyantol. Tapi karena sinyal yang lemah menjadikan kami sangat sulit untuk
menghubunginya. Sesampai di Pos 3, lagi-lagi kami tak mendapati muka Anggi.
Kemana gerangan anak ini. Tapi saya tak berputus saya. Satu pesan saya kirim
lewat SMS berharap mendapat keajaiban akan kabar Anggi.
Tinggg... ada pesan masuk. “Tak
tunggu di warung mbok yem,” balasnya singkat. Sontak membuat kami bersyukur
karena mendapati kabar dia baik-baik saja. Namun karena ulahnya yang membuat
kita bertiga khawatir setengah mati, membuatku sedikit marah dengannya karena
tidak mengabari dulu kalau misal mau berangkat dulu. Sebagai seorang leader dalam rombongan pendakian akulah
yang mesti bertanggung jawab jika terjadi apa-apa dengan tim. Setelah itu ku
kirimkan satu pesan dengan nada agak marah ke Anggi.
“Ojok ngawur bro..! Tunggu di pos 4 aja. Kita ini lagi bingung cari
kamu, tenda di kamu, headlamp di kamu, logistik. Pliss jangan egoislah. Kita
berangkat bareng-bareng, pulang juga bareng!” balasku kesal.
Tak ada balasan, mungkin
sinyalnya lenyap lagi di antara kabut sore yang mulai menghampiri. Kuceritakan
balasan SMS-nya kepada Ardi dan Fifi, mereka saling saut menyaut mengumpatinya.
Fifi terutama,“Oh... Dasar Anggi. Hati-hati ya kalau ketemu.” Ancamnya ke
sekian kalinya.
Keindahan awan sudah terlihat di
pos 3. Membius mata akan ke indahan panorama Lawu sore itu. Rasa kesal dan
marah karena ulah Anggipun sedikit mereda seiring dengan dimanjakannya mata
kami akan kebesaran ciptaan-Nya. Sehabis berfoto-foto dan membuat video
singkat, kamipun melajutkan perjalanan.
Di tengah perjalanan menuju pos 4
yang bisa dibilang treknya lumayan terjal, walaupun jalannya sudah lumayan
tertata rapi dengan bebatuan yang di pasang sepanjang jalan. Fifi mengeluhkan
bahwa dia sudah tak sanggup lagi berjalan. Saya terus menyemangatinya.
Sementara hari sudah kian sore, dan dari kami bertiga hanya saya yang membawa headlamp. Headlamp yang lain di tas carrier yang dibawa Anggi, logistik
makanan bahkan tenda juga dibawanya. Berhubung siang itu kami belum makan,
mungkin perut kami juga lumayan lapar. Meringkih-ringkih meminta untuk di isi
bahan bakar makanan.
Bersyukur, untungnya saya masih membawa
beberapa snack yang bisa dimakan untuk mengganjal perut. Saya keluarkan roti
untuk dimakan bersama. Tatkala kami melanjutkan perjalan lagi, Fifi berhenti
dan mengeluh lagi bahwa dia sudah tak sanggup naik. Kali ini lebih parah, dia
merasa kedingianan. Buru-buru jaket yang semula tidak di kancing, aku minta
untuk mengancingnya. Ku kasih lagi sisa roti yang tadi untuk dimakan lagi
sembari berdoa agar semua baik-baik saja. Dia menangis, akupun coba untuk
menenangkanya. Bersama Ardi kami bergantian menuntunnya pelan-pelan untuk naik,
berharap pos 4 sudah dekat.
Saya sebenarnya sudah khawatir,
kalau jangan-jangan Fifi terkena Hipo. Tatkala kami mendapat kabar dari pendaki
lain bahwa pos 4 sudah dekat. Saya senang bukan main, saya memutuskan untuk
mengajak tim menuju pos 4 karena jaraknya lebih dekat daripada kami harus
kembali lagi ke pos sebelumnya karena kekhawatiran akan kondisi Fifi. Sesampainya
di pos 4, saya mengajak Ardi untuk mencari kayu-kayu kering untuk kemudian
dibuat api unggun. Ketika Api unggun sudah menyala, buru-buru Fifi saya minta
untuk menghangatkan badan. Wajahnya yang semula terlihat pucat, kini sudah
lumayan ceria lagi walaupun di satu sisi masih tampak lesu. Mungkin salah satu
penyebabnya adalah lapar.
Dipos 4 kami lumayan terhibur
dengan kedatangan dua pendaki cilik. Gadis-gadis kecil itu lucu, imut sekaligus
mengagumkan kami yang diusianya masih kisaran 7-8 tahun sudah mendaki salah
satu gunung seven summit of java,
Lawu. Tentunya dengan didampingi sama orang tuanya.
“Meraka masih bocil tapi sudah
ikutan mendaki Lawu Fi, masak kamu yang sudah besar kalah!” celetuk Ardi,
mengejek Fifi. Saya hanya tersenyum, Fifipun demikian. Tak lama kemudian,
tiba-tiba Anggi tampak datang dari atas menghampiri kami. Mata kamipun seketika
terfokus kepadanya.
“Koen nyandi ae cuk!!” bentak saya sambil menamparnya. Tidak keras,
bukan fisiknya yang ingin kutampar namun hatinya. Sejenak kemudian aku terdiam
menahan amarah. Ardi melanjutkan pembicaraan. Saya meninggalkannya untuk buang
air kecil. Dan Fifi tampak berbincang dengan Anggi dan menamparnya lagi.
Sebetulnya saya tidak enak hati memperlakukan teman sendiri seperti itu. Namun,
saya tak ada cara lain untuk menyadarkannya. Lebih baik tangan saya yang bicara
daripada mulut banyak cakap. Toh katanya, mulut lebih tajam daripada senjata.
Mulutmu Harimaumu, begitu katanya.
Selepas waktu maghrib, kamipun
melanjutkan perjalan menuju pos 5. Trek perjalanan dari pos 4 menuju pos 5
memang lumayan landai daripada pos 3 ke pos 4. Saat menemukan jalur pendakian yang
landai saat penjalanan, kami biasanya menyebutnya itu “bonus”. Namun, kali ini
sedikit berbeda. Aku memulai untuk menggendong si Fifi karena dia sudah tidak
begitu kuat. Setengah perjalanan, rasanya sangat memeberatkan pundak. Ardi
menggantikannya sampai pos 5. Di pos 5, kamipun berhenti sebentar. Fifi
mengeluh lagi. Kali ini dia benar-benar sudah merasa kedinginan, dia menangis.
Padahal jarak ke warung yang buka di sendang derajat masih 15 menitan lagi.
“Udah nggak kuat mas..,” Keluh
Fifi sambil terisak tangis. Sayapun sebenarnya sangat kasihan melihat
kondisinya. Tapi kami bingung, tenda dan logistik ada di Carrier Anggi yang dititipkan di Warung Sendang Drajat. Terbesit
dipikiran untuk menitipkan Fifi di Tenda pendaki lain yang mendirikan tenda di
situ. Tapi dengan berbagai pertimbangan akhirnya kamipun mencoba untuk
membawanya ke Warung saja. Selain di warung juga sudah pasti tersedia api
unggun untuk memasak, di sana juga kalau misal ingin beli makanan dan teh
hangat bisa langsung pesan.
“Ayo Fii... sini aku gendong
aja,” ajak Anggi pada Fifi. Semenjak sampai di Pos 5, Anggi memang terlihat
yang paling perhatian sama kondisi Fifi. Mungkin dia merasa bersalah atas
kejadian menghilangkan diri dari tim kami sebelumnya. Setelah berjalan beberapa
menit. Anggi terlihat terhuyung-huyung menahan berat badan Fifi yang tidak
terlalu besar. Ya, sekecil-kecilnya orang kalau sudah digendong saat mendaki
Gunung sudah pasti akan sangat menyiksa punggung. Akhirnya kami berhenti
sejenak.
Tatkala hari sudah semakin malam,
hawa dingin Lawupun tak kalah ganasnya menerjang kami. Angin yang berhembus di
lembah yang kami lewati menambah hawa dingin semakin menusuk. Fifi tampak
mengginggil. Tiba-tiba kami didatangi beberapa pendaki yang hendak menuju
sendang drajat juga. Bersyukur, mereka menawari bantuan untuk membawakan tas
kecil yang di bawa Ardi. Salah satu dari laki-laki pendaki itu meminta kami
untuk membungkus saja Fifi dengan sleeping
bag dan menggotongnya berdua sampai warung. Untungnya ada 2 sleeping Sleeping bag di dalam tas carrier-ku yang bisa dipakai. Tas Fifi
saya bawa, sementara Anggi dan Ardi bersama-sama menggendong Fifi.
Dalam keadaan seperti itu, saya
tak henti-hentinya berdoa dalam hati untuk keselamatan Fifi. Ketika kami
melihat ada lampu-lampu yang menyala di depan serta riuhnya pendaki yang
mendirikan tenda di sekitar warung Sendang drajat, kami sangat bersyukur.
Beberapa pendaki menghampiri kami, setelah tahu bahwa teman kami Fifi terkena
Hipothermia ringan, mereka segera bahu membahu ikut membawa Fifi ke dalam
Warung dan mendekatkan dengan sumber Api yang dibuat untuk memasak penjaga
warung.
Saya kemudian memesankannya teh
dan nasi. Dari kejadian itu saya menyadari betapa banyaknya pelajaran berharga
kala itu. Tentang bagaimana menangani pendaki yang terkena Hipo yang kebetulan
waktu itu juga dibantu oleh seorang bapak-bapak, dan juga tentang betapa
pentingnya solidaritas antar pendaki. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana
jadinya kalau kita di gunung yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan ini saling
acuh tak acuh terhadap sesama. Disitulah kami merasa mendapatkan keluarga baru,
meskipun baru mengenalnya.
Setelah mengisi perut dengan nasi
pecel kamipun memutuskan untuk menginap saja di warung tersebut. Alhamdulilla
atas kuasa Tuhan Fifi malam itu masih bisa terselamatkan. Anggi semenjak itu
tak henti-hentinya menjaga Fifi dan memperlakukannya bak seorang Putri raja.
Bahkan, keeosokan harinya tatkala saya dan Ardi mau muncak, Anggi dengan rela
untuk tetap menjaga Fifi. “Kalian aja yang muncak, biar aku sama Fifi.”
Pintanya.
“Fotoin sunrise-nya ya mas,”
pinta Fifi. Yang kemudian saya jawab dengan anggukan dan senyuman. Kala itu
saya dan Ardi sebenarnya sudah ketinggalan sunrise
sebab terlalu bersantai di dalam warung. Hingga pada akhirnya sang surya pagi
mulai muncul kami baru keluar dari sarang. Ah, sialnya aku. Sudah capek-capek
naik ke puncak tidak menjumpai Sunrise.
Berbekal kamera Canon DSLR yang lumayan memberatkan pundak ketika saya bawa
muncak, sang surya pagipun bisa ambil foto layaknya sunrise. Terimakasih Canon.
Tidak membutuhkan waktu lama
untuk sampai puncak, dari sendang drajat ke puncak kami berjalan hanya 15
menitan sudah sampai di puncak Hargo dumilah. Puncak Hargo Dumilah adalah
puncak tertinggi gunung lawu dengan ketinggian 3.265 MDPL (Meter Di atas
Permukaan Laut). Sebenarnya di Lawu memilik tiga pucak, yakni Hargo Dalem,
Hargo Dumiling, dan puncak tertinggi bernama Hargo Dumilah. Di puncak Hargo
Dumilah juga terdapat tugu petanda yang biasa dibuat pendaki untuk berfoto ria
di sana. Disana, para pedaki tampak sedang asyik menikmati puncak lawu di bawah hangatnya sang surya dan indahnya lautan awan. Ternyata beginilah Lawu, cantik sekali.
Sehabis mengambil gambar dan
menikmati suasana puncak lawu dengan segala keindahannya, saya dan Ardipun
kembali ke warung sendang drajat untuk menikmat pecel di atas ketinggian.
Tatkala sudah sampai di dekat warung kulihat Fifi yang ditemani Anggi sedari
malam. Mereka sedang makan di bawah teriknya matahari pagi menjelang siang itu. Kitapun
menghampirinya, dan tiba-tiba saja Anggi berjabat tangan dan memelukku lalu
meminta maaf atas kesalahan yang ia perbuat kemaren. Saya dan Ardipun dengan
senang hati memaafkannya. Kemudian saya jelaskan kenapa kemaren saya jengkel
dan marah dengannya. “Lain kali jangan gitu ya bro.. kita ini kan satu tim. Jangan
pernah terpencar gimanapun keadaannya, puncak dalam pendakian itu kan hanya
bonus, tujuan utama kita mendaki adalah pulang dengan selamat,” ucap saya pelan
kepadanya. Diapun mengangguk, tanda menerima kata-kata saya.
Rencana awal saya dan Ardi yang
ingin mengajak Fifi dan Anggi untuk turun jam 10 pagi harus kami tunda lantaran
mereka berdua tak kunjung balik ke warung tempat kami menginap semalam.
Berhubung badan lumayan capek saat kita summit
pagi hari tadi, saya dan Ardi memutuskan untuk tidur terlebih dahulu sembari
menunggu Anggi dan Fifi kembali. Baru pada Pukul 1 siang kamipun memutuskan
untuk kembali turun ke basecamp untuk
kemudian pulang ke rumah. Fifi yang sedari kemaren memasang wajah pucat, kini
saat perjalan pulang kembali ceria. Nalurinya sebagai cewek yang suka fotopun
saya iyakan saja untuk memfotonya ketika minta untuk difotokan. Tak apa-apa
yang penting teman saya itu senang.
Nesting yang sedari kemaren belum
ke pakai, akhirnya siang itu baru kepakai ketika kami sampai di pos 4. Kami
memasak mie goreng dan melahapnya untuk menambah energi turun ke bawah.
Sebenarnya makan mie di gunung tidak disarankan, sebab kandungan kalori dan
karbohidrat mie instan termasuk sedikit dibandingkan makan nasi. Namun,
berhubung kami lupa untuk membawa beras dan sudah terlalu lapar. Kami putuskan
untuk memasak mie instan saja. Setelah berhenti sekitar satu jam untuk makan
siang, kamipun melanjutkan perjalan turun.
Fajar kian melahap. Ketika kami
sampai di pos 2, kami putuskan untuk berhenti sejenak menunggu waktu sholat
maghrib usai. Konon, apabila kita sedang melakukan pendakian yang mana waktu
sudah lepas dari jam 5 sore, kita tidak dianjurkan untuk melanjutkan perjalanan
sampai menjelang waktu sholat isyak. Jika ada yang melanggarnya, bisa saja kita
tersesat saat perjalan. Atau mendapati kejadian yang di luar dugaan. Daripada
terjadi apa-apa maka kami putuskan untuk berhenti sejenak, menikmati sebatang
rokok yang sedari kemarin baru sempat aku rokok sore hari itu.
Rokok saat pendakian bagi saya
hanya untuk menghangatkan tubuh saja dan biar tidak dikerubungi nyamuk.
Selebihnya untuk bersosialisai dengan orang lain saja. Bukankah lebih baik
menyalakan rokok, daripada menyulutkan api kebencian terhadap sesama. He.
Sebetulnya saya tidak terlalu suka dengan rokok. Kadang-kadang saja, untuk
menegaskan bahwa saya bukanlah termasuk golongan yang mengharamkan rokok.
Sehabis usai waktu sholat magrib,
kami memutuskan untuk melanjutkan perjalan turun. Ketika perjalanan antara pos
2 ke pos 1 pengalaman yang menurut saya agak mistispun menghampiri kami.
Kebetulan waktu itu saya berjalan di depan, saya melihat sekitar jarak 10 meter
di depan saya ada cahaya merah bak lampu emergency
headlamp. Saya mencoba untuk berpikir positif kalau itu adalah pendaki.
Namun karena rasa penasaran, saya coba mendekatinya. Dan tiba-tiba cahaya merah
yang saya kira adalah pendaki itu hilang bagai ditelan bumi. Saya hanya mampu
beristighfar dalam hati, karena sedikit rasa takut. Sembari berdoa kepada
Tuhan, saya tetap melanjutkan perjalanan tanpa bercerita apa yang saya lihat
barusan ke teman-teman saya yang di belakang. Takut saja membuat mereka tambah
khawatir dan takut.
Memang benar, manusia hanya bisa
berencana, Tuhan yang menentukan. Ardi mulai mengeluhkan kakinya sakit
sepenjang perjalan ke pos 1, beberapa saat kemudian sayapun merasakan demikian.
Niat awal kami yang ingin nge-camp di
dekat basecamp terpaksa harus sedikit
kami rubah planning-nya. Kami malam
itu memutuskan untuk ngecamp saja di
pos 1, beristirahat untuk kemudian besuk melanjutkan turun. Setelah kami
mendirikan tenda, kami sempat berbincang dengan beberapa pendaki senior yang
juga nge-camp di atas dekat tenda
kami. Api unggun yang dibuat beberapa pendaki itu membuat badan kami sedikit
terhangatkan. Terlebih ketika meraka yang tampak sudah sedikit tua itu
bercerita tentang pengalamannya mendaki dan berkelana. Salah satu dari mereka
pernah mendaki digunung selama satu bulan, menjadi survivor dan bertahan hidup
diantara belantara gunung Lawu.
Malam harinya ketika kami
beranjak tidur. Saya merasakan hal aneh yang membuat saya susah untuk tidur
sampai tengah malam. Saya berkali-kali ketindihan
(penampakan hantu saat tidur). Saya merasa di luar itu seakan ada yang
mengitari tenda kami. Dan saat saya ketindihan
beberapa saat kemudian seperti ada harimau yang menerkam dan menggeret kaki
saya. Sontak saya coba untuk membacakannya ayat kursi dan akhirnya harimau
itupun pergi. Entah itu memang benar hantu atau bukan, saya tidak ingin
memperdebatkannya. Tapi memang Lawu terkenal dengan hal-hal mistisnya sebab
yang datang ke Lawu bukan hanya murni untuk mendaki seperti kami. Namun banyak
juga yang katanya ingin menjajal
pengalaman spiritualnya bahkan konon sampai dibuat tempat pesugihan.
Keesokan harinya setelah kami
memasak mie lagi untuk dibuat sarapan (mie lagi mie lagi hufft!) kami
melanjutkan perjalan turun. Sesampainya
di basecamp, kami langsung mandi di kamar mandi di sekitar basecamp dan sholat dhuhur di mushola.
Setengah jam beralu, kamipun berpamitan dengan bang Udin penjaga basecamp Cemoro Sewu yang kami kenal
saat dua hari yang lalu sebelum naik ke puncak. Kami sehabis itu sepakat untuk
berhenti dan mencari makan di sekitar telaga sarangan.
Telaga Sarangan juga dikenal
sebagai Telaga Pasir. Telaga ini berada diketinggian 1.200 MDPL dan terletak di
lereng Gunung Lawu, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan. Tapi kami tidak
sempat untuk mampir di tempat wisatanya. Hanya kebetulan dipinggir jalan ada
warung-warung makan yang bisa melihat keindahan telaga dari kejauhan kami
memutuskan untuk makan disitu sembari melihat telaga.
Lawu telah memberikan banyak
kenangan dan pengalaman yang berharga bagi kami. Rintangan dan halangan saat
mendaki seakan menjadi miniatur suka duka kehidupan kita di dunia. Keindahan
alam memang tersembunyi di balik jalan yang terjal dan penuh rintangan. Pun
sama dengan surga-Nya kelak. Namun, yang terpenting adalah jangan putus asa,
tetaplah bergerak dengan menghadapi masalah tersebut. Bukannya malah
menjauhinya. Sebab, masalah yang Tuhan berikan kepada kita pastilah sesuai
dengan kadar kemampuan kita. Laa
yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa. (QS.Al-Baqarah: 286).
Salam Lestari...!!!
Salam Literasi...!!!
Surabaya, 10 September 2020 || Budi Setiawan