Jumat, 17 April 2020

PADASAN, RIWAYATMU KINI



[ JJB ke #31 Series; #LiterasiLawanPandemi ]

Peradaban ummat manusia abad 21 ini adalah peradaban ilmiah dan teknologi yang canggih. Dalam sejarah panjangnya, menurut Yuval Noah Harari, manusia menjadi mahkluk berperadapan melalui tiga revolusi: Kognitif, Pertanian, dan Sains. Namun, tak serta merta, kearifan lokal yang telah diajarkan para leluhur, kita lupakan atau bahkan kita musnahkan begitu saja. Jika memang demikian, sungguh kita tak meng-indah-kan kata-kata Bung Karno yakni JASMERAH (Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah).

Gambar: Padasan dari bahan plastik bekas cat tembok (foto pribadi)

“Wong jowo ora njawani” (orang jawa tapi tidak menjiwai). Pepatah jawa ini nampaknya cocok disematkan kepada orang-orang seperti saya khususnya atau siapa saja yang merasa umumnya. Yang memang secara perlahan mulai meninggalkan kearifan lokal dan budaya sendiri. Betapa tidak, hal-hal yang selama ini kita anggap kuno dan ndak ilmiah itu ternyata mulai dibutuhkan kembali disaat-saat pandemi seperti ini. Membuat “padasan” salah satunya.

Tulisan ini bermula dari kisah saya rabu pagi (15/04) kemaren saat selesai menyapu rumah lalu kemudian mengisi padasan di depan rumah dengan air. Padasan itu baru dibuat oleh kakak saya beberapa hari yang lalu dengan bahan bekas wadah cat dengan diberi kran di bawahnya. Dalam benak saya lantas timbul pertanyaan, “kenapa baru sekarang orang-orang mulai rajin mencuci tangan, kenapa baru sekarang orang buat padasan, setelah semua tersadarkan bahwa menjaga kebersihan itu sangat penting digiatkan saat musim pandemi ini?”

F.Y.I (bagi yang belum tahu), Padasan adalah tempat air dalam wadah berupa gentong atau tempayan yang umumnya terbuat dari tanah liat. Biasanya padasan ditempatkan di depan rumah. Sementara menurut KBBI, padasan adalah tempayan yang diberi lubang pancuran (tempat air wudlu).

Jauh sebelum WHO (World Health Organization) dan Menkes (Menteri Kesehatan) memberi himbauan untuk rajin mencuci tangan. Masyarakat jawa sudah terbiasa untuk mencuci tangan dan kaki sehabis kerja (yang mayoritas zaman dulu bertani, beternak, berkebun dan berdagang) dengan padasan. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah SAWAN (Sejenis Virus atau penyakit) terbawa ke rumah dan menularkan ke keluarga yang ada di rumah.

Gambar: Padasan zaman dahulu dari gentong (sumber gambar: ayojalanterus.com)

Jadi, salah besar apabila kita anggap orangtua kita terdahulu adalah orang kuno dan ndak ilmiah itu. Sebab, orang Jawa terdahulu selalu menggunakan ilmu atau ngilmu “titen” disetiap laku kehidupannya. “Titen” artinya cermat dalam menandai dan membaca makna dibalik peristiwa alam. Ngelmu titen adalah keahlian dalam melihat hubungan suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya dengan berbasis tradisi.

Menurut Dewi Sundari, seorang Praktisi Kejawen mengatakan bahwa dalam ngilmu titen, segala sesuatu yang terjadi dapat diamati. Karena tidak ada yang namanya kebetulan dalam hidup ini. “Kebiasaan mengamati, yang kita sebut sebagai othak-athik gathuk ini, sebenarnya juga diterapkan oleh ilmuwan dunia. Padahal yang diajarkan leluhur kita, sesungguhnya adalah metode pembelajaran yang dapat diterima secara ilmiah juga”. Kalau dalam konteks kekinian ngilmu titen itu kurang lebih sama halnya dengan penelitian lah. Hanya saja ngilmu titen berbasis tradisi dalam dalam tataran praktisnya.

Dulu waktu masih tinggal di desa, ketika pulang dari melayat atau dari kuburan saya sama Almarhumah ibu selalu diminta mandi dulu sebelum masuk rumah. Karena kata beliau jika tidak, nanti bisa membawa SAWAN dan menularkan ke orang rumah. Akibatnya orang yang di rumah bisa saja sakit jika kita ngeyel. Karena hal itu memang sudah di-titeni oleh orang tua kita sejak zaman dahulu. Dan ternyata menurut dokterpun sama, bahwa orang yang meninggal bisa menularkan penyakitnya. Makanya kenapa seperti yang kita ketahui bersama, pasien COVID-19 yang sudah meninggal dilakukan penanganan khusus dari petugas Rumah sakit. Mulai dari memandikan sampai menguburkannya harus dari pihak rumah sakit.

Berkaca pada narasi yang telah saya jabarkan di atas. Maka sudah sepatutnya kita lebih menghargai akan warisan leluhur kita. Sepertinya misalnya padasan, tidak mungkin itu dibuat tanpa ada guna dan manfaatnya. Tak mungkin ada bangunan yang kokoh andai pondasinya tidak dipasang dengan tepat dan benar.

Nilai-Nilai Luhur di balik Padasan

Masyarakat Jawa di pedesaan pada zaman dahulu hampir semuanya menyediakan padasan di depan rumahnya. Biasanya di dekat jalan. Padasan pada waktu itu lebih banyak menggunakan gentong atau tempayan. Selain itu terkadang pemilik rumah melengkapinya dengan gayung dari batok kelapa atau dalam bahasa jawa biasa disebut siwur. Sekarang orang-orang bisa membuat padasan dengan barang-barang yang mudah ditemukan seperti jerigen dan bekas cat rumah saja.

Pada umumnya, padasan diletakkan di depan jalan supaya siapapun yang lewat dan membutuhkan air bisa mengambilnya sesuai dengan keperluan. Banyak nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi menyediakan padasan. Diantaranya sebagai berikut:

Pertama, keikhlasan dan kerelaan berbagi. Dengan berbekal ke-ikhlasan pemilik padasan  rutin mengisi airnya jika sudah habis, supaya siapapun yang membutuhkan bisa memanfaatkannya. Dan tanpa peduli bahwa orang yang mengambil itu sudah dikenal pemilik atau belum.

Kedua, berlatih untuk mawas diri. Orang yang memanfaatkan padasan, baik kenal ataupun tidak dengan pemiliknya. Juga diharapkan cukup tahu diri untuk tidak berlebihan dalam memanfaatkan air tersebut. Mereka harus sadar bahwa masih banyak orang lain yang membutuhkannya. Walaupun memang tidak ada aturan tegas yang melarang atau membatasi penggunaan air.

Ketiga, agar tidak menjadi air musta’mal saat digunakan berwudlu. Air musta’amal adalah air yang telah digunakan bersuci (wudlu/mandi) ataupun menghilangkan najis. Air musta’mal tidak bisa digunakan bersuci manakala kurang dari dua qullah (bak air ukuran: 60 cm3 = 216.000 cm atau 216 liter). Jadi sederhananya, apabila air yang kurang dari dua qullah tersebut digunakan untuk mandi misalnya terus setelah itu sisanya juga digunakan untuk wudlu maka wudlunya tidak sah. Sebab, dikhawatirkan air yang telah kita gunakan tercipratkan ke wadahnya lagi walaupun tidak sengaja. Maka, untuk mengantisipasinya orang zaman dulu menggunakan padasan sebagai sarana berwudlu supaya airnya tetap sah digunakan dalam bersuci.

Narasi tentang padasan ini adalah manifestasi dari sekian banyaknya kearifan lokal yang ada di negeri kita. Sebagai generasi penerus bangsa, seharusnya kita lebih memperhatikan lagi akan budaya dan kearifan lokal para leluhur kita. Kendati kita sudah memasuki periode peradaban ilmiah dan teknologis, namun jangan sampai budaya kita luntur dan tergerus oleh ombak budaya dari luar. Kita punya jati diri bangsa yang patut kita banggakan. Jangan sampai terdengar ada kata “klaim budaya” oleh negara lain lagi di media.

Sidoarjo, 17 April 2020 || Budi Setiawan

1 komentar:

  1. Sangat menarik .....memang seharusnya padasan ini tidak di tinggalkan....selain menghormati dan menjaga budaya leluhur, nyata nya dengan adanya padasan ini, kebersihan akan diri sendiri dan lingkungan menjadi lebih terjaga. Dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan otomatis kesehatan juga terjaga.....dan dari segi keimanan juga mengamalkan bahwa "kebersihan adalah sebagian dari iman"

    BalasHapus