[ JJB ke #31 Series; #LiterasiLawanPandemi ]
Peradaban ummat manusia abad
21 ini adalah peradaban ilmiah dan teknologi yang canggih. Dalam sejarah
panjangnya, menurut Yuval Noah Harari, manusia menjadi mahkluk berperadapan
melalui tiga revolusi: Kognitif, Pertanian, dan Sains. Namun, tak serta merta,
kearifan lokal yang telah diajarkan para leluhur, kita lupakan atau bahkan kita
musnahkan begitu saja. Jika memang demikian, sungguh kita tak meng-indah-kan
kata-kata Bung Karno yakni JASMERAH (Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah).
Gambar: Padasan dari bahan plastik bekas cat tembok (foto pribadi) |
“Wong jowo ora njawani”
(orang jawa tapi tidak menjiwai). Pepatah jawa ini nampaknya cocok disematkan
kepada orang-orang seperti saya khususnya atau siapa saja yang merasa umumnya.
Yang memang secara perlahan mulai meninggalkan kearifan lokal dan budaya
sendiri. Betapa tidak, hal-hal yang selama ini kita anggap kuno dan ndak ilmiah itu ternyata mulai
dibutuhkan kembali disaat-saat pandemi seperti ini. Membuat “padasan” salah
satunya.
Tulisan ini bermula dari kisah
saya rabu pagi (15/04) kemaren saat selesai menyapu rumah lalu kemudian mengisi
padasan di depan rumah dengan air. Padasan itu baru dibuat oleh kakak saya
beberapa hari yang lalu dengan bahan bekas wadah cat dengan diberi kran di
bawahnya. Dalam benak saya lantas timbul pertanyaan, “kenapa baru sekarang
orang-orang mulai rajin mencuci tangan, kenapa baru sekarang orang buat padasan, setelah semua tersadarkan bahwa
menjaga kebersihan itu sangat penting digiatkan saat musim pandemi ini?”
F.Y.I (bagi yang belum tahu), Padasan adalah tempat air dalam wadah
berupa gentong atau tempayan yang umumnya terbuat dari tanah liat. Biasanya
padasan ditempatkan di depan rumah. Sementara menurut KBBI, padasan adalah
tempayan yang diberi lubang pancuran (tempat air wudlu).
Jauh sebelum WHO (World Health
Organization) dan Menkes (Menteri Kesehatan) memberi himbauan untuk rajin
mencuci tangan. Masyarakat jawa sudah terbiasa untuk mencuci tangan dan kaki
sehabis kerja (yang mayoritas zaman dulu bertani, beternak, berkebun dan
berdagang) dengan padasan. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah SAWAN (Sejenis
Virus atau penyakit) terbawa ke rumah dan menularkan ke keluarga yang ada di
rumah.
Gambar: Padasan zaman dahulu dari gentong (sumber gambar: ayojalanterus.com) |
Jadi, salah besar apabila kita
anggap orangtua kita terdahulu adalah orang kuno dan ndak ilmiah itu. Sebab, orang Jawa terdahulu selalu menggunakan
ilmu atau ngilmu “titen” disetiap
laku kehidupannya. “Titen” artinya cermat dalam menandai dan membaca makna
dibalik peristiwa alam. Ngelmu titen adalah keahlian dalam melihat hubungan
suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya dengan berbasis tradisi.
Menurut Dewi Sundari, seorang
Praktisi Kejawen mengatakan bahwa dalam ngilmu
titen, segala sesuatu yang terjadi dapat diamati. Karena tidak ada yang
namanya kebetulan dalam hidup ini. “Kebiasaan mengamati, yang kita sebut
sebagai othak-athik gathuk ini,
sebenarnya juga diterapkan oleh ilmuwan dunia. Padahal yang diajarkan leluhur
kita, sesungguhnya adalah metode pembelajaran yang dapat diterima secara ilmiah
juga”. Kalau dalam konteks kekinian ngilmu
titen itu kurang lebih sama halnya dengan penelitian lah. Hanya saja ngilmu titen berbasis tradisi dalam
dalam tataran praktisnya.
Dulu waktu masih tinggal di
desa, ketika pulang dari melayat atau dari kuburan saya sama Almarhumah ibu
selalu diminta mandi dulu sebelum masuk rumah. Karena kata beliau jika tidak, nanti
bisa membawa SAWAN dan menularkan ke orang rumah. Akibatnya orang yang di rumah
bisa saja sakit jika kita ngeyel. Karena
hal itu memang sudah di-titeni oleh
orang tua kita sejak zaman dahulu. Dan ternyata menurut dokterpun sama, bahwa
orang yang meninggal bisa menularkan penyakitnya. Makanya kenapa seperti yang
kita ketahui bersama, pasien COVID-19 yang sudah meninggal dilakukan penanganan
khusus dari petugas Rumah sakit. Mulai dari memandikan sampai menguburkannya
harus dari pihak rumah sakit.
Berkaca pada narasi yang telah
saya jabarkan di atas. Maka sudah sepatutnya kita lebih menghargai akan warisan
leluhur kita. Sepertinya misalnya padasan,
tidak mungkin itu dibuat tanpa ada guna dan manfaatnya. Tak mungkin ada
bangunan yang kokoh andai pondasinya tidak dipasang dengan tepat dan benar.
Nilai-Nilai
Luhur di balik Padasan
Masyarakat Jawa di pedesaan
pada zaman dahulu hampir semuanya menyediakan padasan di depan rumahnya. Biasanya di dekat jalan. Padasan pada
waktu itu lebih banyak menggunakan gentong atau tempayan. Selain itu terkadang
pemilik rumah melengkapinya dengan gayung dari batok kelapa atau dalam bahasa
jawa biasa disebut siwur. Sekarang
orang-orang bisa membuat padasan
dengan barang-barang yang mudah ditemukan seperti jerigen dan bekas cat rumah
saja.
Pada umumnya, padasan diletakkan di depan jalan
supaya siapapun yang lewat dan membutuhkan air bisa mengambilnya sesuai dengan
keperluan. Banyak nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi menyediakan
padasan. Diantaranya sebagai berikut:
Pertama, keikhlasan dan
kerelaan berbagi.
Dengan berbekal ke-ikhlasan pemilik padasan
rutin mengisi airnya jika sudah habis, supaya siapapun yang membutuhkan
bisa memanfaatkannya. Dan tanpa peduli bahwa orang yang mengambil itu sudah dikenal
pemilik atau belum.
Kedua, berlatih untuk mawas
diri. Orang
yang memanfaatkan padasan, baik kenal ataupun tidak dengan pemiliknya. Juga
diharapkan cukup tahu diri untuk tidak berlebihan dalam memanfaatkan air
tersebut. Mereka harus sadar bahwa masih banyak orang lain yang membutuhkannya.
Walaupun memang tidak ada aturan tegas yang melarang atau membatasi penggunaan
air.
Ketiga, agar tidak menjadi air
musta’mal saat digunakan berwudlu. Air musta’amal adalah air yang telah digunakan bersuci (wudlu/mandi)
ataupun menghilangkan najis. Air musta’mal
tidak bisa digunakan bersuci manakala kurang dari dua qullah (bak air ukuran: 60 cm3 = 216.000 cm atau 216 liter).
Jadi sederhananya, apabila air yang kurang dari dua qullah tersebut digunakan untuk mandi misalnya terus setelah itu
sisanya juga digunakan untuk wudlu maka wudlunya tidak sah. Sebab,
dikhawatirkan air yang telah kita gunakan tercipratkan ke wadahnya lagi
walaupun tidak sengaja. Maka, untuk mengantisipasinya orang zaman dulu
menggunakan padasan sebagai sarana
berwudlu supaya airnya tetap sah digunakan dalam bersuci.
Narasi tentang padasan ini adalah manifestasi dari
sekian banyaknya kearifan lokal yang ada di negeri kita. Sebagai generasi
penerus bangsa, seharusnya kita lebih memperhatikan lagi akan budaya dan
kearifan lokal para leluhur kita. Kendati kita sudah memasuki periode peradaban
ilmiah dan teknologis, namun jangan sampai budaya kita luntur dan tergerus oleh
ombak budaya dari luar. Kita punya jati diri bangsa yang patut kita banggakan.
Jangan sampai terdengar ada kata “klaim budaya” oleh negara lain lagi di media.
Sidoarjo,
17 April 2020 || Budi Setiawan
Sangat menarik .....memang seharusnya padasan ini tidak di tinggalkan....selain menghormati dan menjaga budaya leluhur, nyata nya dengan adanya padasan ini, kebersihan akan diri sendiri dan lingkungan menjadi lebih terjaga. Dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan otomatis kesehatan juga terjaga.....dan dari segi keimanan juga mengamalkan bahwa "kebersihan adalah sebagian dari iman"
BalasHapus