Surabaya, 3 Februari 2021
20.30
“Mas, besuk kalau mau kasih
mahar, buku aja ya mas. Jadi Mas nulis buku lagi,” ucap wanita yang malam itu
di depanku. Wajahnya bercampur sinar lampu terang cafe hingga memantulkan cahaya indah di dua kornea matanya. Wulan,
begitu orang-orang memanggilnya. Sesuai namanya, wajahnya kuning bersinar bak
rembulan.
“Hah... Buku?” Sahutku kaget.
“Iya, mas. Tapi nggak maksa
lho. Kan mahar katanya nggak boleh memberatkan.” Jawabnya pelan.
Kemudian senyum penuh teduh
padanya kuantarkan. Wanita ini tau saja kalau kekasihnya sudah lama tidak
menulis buku. Memang rencanaku dulu sebelum menerbitkan buku nikah, setidaknya
satu atau dua buku bisa aku tulis lagi.
“Iya dek. Mas jawab sehabis
lamaran ya permintaan adek.” Ujarku menjanjikan jawaban.
Perasaanku kala itu campur
aduk. Dari permintaan maharnya aku membayangkan bahwa dia bukan hanya wanita
cantik yang dikirimkan Tuhan untuk menjadi pendamping hidupku. Namun juga
insyaAllah wanita shalihah yang ditakdirkan untuk mendukung proses berkaryaku
sebagai penulis. Menjadi laksana obor penyemangat di kala malam hitam kelam
menyulitkanku menyusuri jalan sunyi kepenulisan.
Memang menulis belum menjadi
profesiku seutuhnya. Lebih tepatnya hanya sekedar hobi yang aku tekuni saja.
Namun, aku teringat kata-kata yang pernah dilontarkan oleh Kang Ridwan Emil,
“pekerjaan yang paling menyenangkan itu adalah hobi yang dibayar.” Begitu
katanya. Aku sepakat dengan Kang Ridwan. Tapi sejak awal uang bukanlah motif
utama kenapa aku mesti menulis. Itu hanya bonus. Selebihnya aku menyetujui kata
Pramodeya, bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Pun aku teringat dengan kata mentor menulisku dulu, Mas Brili. Menulis juga bisa menjadi ladang amal kita berupa ilmu yang bermanfaat. Yang pahalanya tidak akan terputus meskipun kita sudah meninggal kelak. Syahdan, lewat dialog singkat dengan calon makmumku malam itu, seakan alampun mendukungku untuk tetap semangat dalam berkarya lewat tulisan.
Minggu, 7 Februari 2021
Aku memandang keluar jendela
mobil. Matahari diantara akhir musim penghujan itu masih menumpahkan sisa
sinarnya diantara kabut awan-awan hitam. Kulihat jam di pergelangan tangan
kiriku sudah menunjukkan pukul 09.10. Mobil toyota rust warna putih itu
menghantarkanku dan keluargaku ke suatu desa di kota Jombang. Meminang seorang
gadis yang baru tiga bulanan dekat dengannya. Di tengah hari istimewa itu ada tiga
hal yang menjadi beban pikiranku.
Pertama, aku dan keluargaku
sedang berbahagia di hari istimewa itu, namun tanpa kehadiran Almarhum Ibuku.
Kedua, ini adalah kali pertama aku berani melamar anak orang. Aku hanya
menerka-nerka bagaimana jalannya acara nanti. Lalu yang terakhir, Apa yang akan
kuhadapi setelah selesai acara tunangan ini, bagaimana jawaban dari permintaan
akan maharnya kemaren? Sepanjang perjalanan, aku hanya memperlihatkan muka yang
senang dan gembira, tanpa memberi tahu sedikitpun apa yang menjadi pertanyaan
yang menjadi kegelisahan dalam hatiku.
Dua hari seusai acara
pertanyaan itu muncul kembali di benakku. Cepat atau lambat aku harus segera mendapatkan
jawaban dari pertanyaan itu untuk kemudian aku forward jawaban itu ke tunanganku. Apakah aku harus mengiyakan atau
justru menolak permintaan itu dengan beberapa alasan. Ya, begitulah kehidupan.
Terkadang kita disuguhkan dengan teka-teki yang wajib kita selesaikan.
Mahar (mas kawin) adalah salah
satu syarat sahnya pernikahan. Dalam Islam sendiri, mahar adalah untuk
sempurnanya nikah. Di Al-Qur’an, Allah telah menjelaskannya dalam surat An-Nisa
ayat 4 berbunyi:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
Demikian Firman-Nya. Begitupun
dengan sebuah hadist beliau Nabi juga menyebutkan:
“Wanita
yang paling besar berkahnya ialah wanita yang paling mudah (murah) maharnya.”
(HR.Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Hadis ini sangat sejalan
dengan kata tunanganku beberapa waktu lalu. Setelah menimbang dan menimbang
lalu memutuskan, InsyaAllah akupun siap untuk menjawab permintaan tunanganku.
Akan ku usahakan, lalu menyerahkan segala usaha itu pada Allah. Sebab, tiada
daya dan upaya melainkan daya dan upaya dari Allah semata.
“Bismillah
tawwakaltu ‘alallah. La haula wala quwwata illa billah,”
ucapku kemudian. Dari menulis buku, terbitlah buku nikah. Semoga saja.
Surabaya, 11 Februari 2021 || Budi Setiawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar