Rabu, 01 April 2020

2024: DARI NUSANTARA UNTUK PERADABAN DUNIA

[ Resensi Buku #4 ]

Sumber Foto: Pribadi



Judul Buku     : 2024 HIJRAH UNTUK NEGERI
Penulis            : Aji Dedi Mulawarman
Penerbit           : Yayasan Rumah Peneleh
Tahun Terbit    : 2016
Tebal Halaman: 316 Hlm
Resentator       : Budi Setiawan

Sinopsis Buku :

Berbicara masalah peradaban merupakan kemewahan bagi masyarakat negeri ini, karena tema seperti ini memang tak bisa dijadikan “pasar” seperti halnya berbicara masalah-masalah di luar topik itu. Membincang peradaban juga tak hanya sekedar menelusuri sejarah tokoh dan peristiwa-peristiwa penting pada pusat-pusat kekuasaan Yunani, Romawi, China, India, Amerika Serikat, Amerika Selatan, Jepang, Majapahit, Perlak, Malaka, Demak, Mataram Baru, Ternate dan Tidore, serta pusat-pusat kejayaan lainnya saja. Membincang peradaban juga bukan hanya masalah “makan” dan “kuasa”, ekonomi dan politik saja, dan dengan itu pula maka peradaban bisa hancur, luluh lantak tak berkeping, hilang dari sejarah masa kini dan masa depan seperti halnya peradaban suku Maya, Aztek, Roma dan lain-lain.

Jika standart kemakmuran suatu negara hanya dinilai berdasarkan penerapan model institusi inklusif ekonomi dan politik seperti yang dikemukakan oleh Acemoglu dan Robinson lalu bagaimana dengan degradasi moral dan tingginya angka kejahatan yang justru itu ada di negara yang katanya makmur? Memang taraf hidup di Barat meningkat kemakmurannya, tidak di Timur, luar biasanya perkembangan sains teknologi, jaminan pendidikan meningkat drastis. Fukuyama mengatakan sebagai simbol kemenangan Liberalisme dan Demokrasi liberal, Barat adalah pemegang sah status sosial manusia terakhir di muka Bumi. Tetapi, kemakmuran, sekali lagi juga dibarengi dengan kehancuran moralitas seperti bencana kebebasan LGBT- Lesbong hombreng, meningkatnya kejahatan, aborsi, masifikasi penggunaan narkotika, serta kejahatan-kejahatan lainnya yang melejit melampaui dunia timur.

Tak hanya itu, institusi inklusif ekonomi dan politik yang digadang-gadang Acemoglu dan Robinson berbasis demokrasi liberalnya Fukuyama di Barat, diungkapkan Fukuyama sebagai realitas paling bobrok, birokrasi sebagai simbol insitusi inklusif adalah pusat segala kebobrokan yang menyebabkan pembusukan politik, political decay.

Secara sederhana kemakmuran dalam benak Barat, hanyalah kemakmuran berbasis materialisme, tidak lebih. Begitu kira-kira jika kita melihatnya hanya dalam kategori-kategori praksis pragmatis seperti yang tengah menjadi fokus dunia Barat. Berbeda pandang dengan penulis buku ini yang mengatakan bahwa, “kemakmuran seharusnya, adalah bagian dari integralitas berjiwa langit untuk memberikan yang terbaik bagi umat, dan setiap manusia maupun masyarakat di dalamnya memiliki hak, keinginan, kebersamaan yang sebenarnya, serta kebaikan yang perlu didakwahkan kepada siapapun untuk mencapai ummatan wahidah sekaligus wasatha. Umat yang utama, sekaligus umat yang sejahtera seiring sejalan. Sangat disayangkan memang apabila kita sudah dipenjarakan dalam kenyataan pikiran dan laku pragmatisme dunia, materialisme, liberalisme dan sekularisme yang terekam di dalamnya, Deus Absconditus, Tuhan ada, namun Tuhan dianggap sudah pensiun. Jika demikian, sungguh itu adalah realita yang begitu menyedihkan.

Melihat kondisi umat Islam Indonesia yang saat ini kian terpuruk dan diistilahkan oleh penulis dengan term “dramaturgi dan subhat komunal negeri” inikah wajah kebudayaan nasional kita sekarang? Kita lihat gejolak sosial terdahulu misalnya, aksi berujung kematian lima orang guru (honorer) hanya karena aspirasi kesejahteraan dan bahkan sebatas status sosial  dan tak pelak di sisi lain terjerembablah kita pada arus LGBT hasil pendidikan puluhan tahun negeri tanpa desain jelas, sisi lainnya pula negara membuat kebijakan antisipatif secara masif aksi terorisme. Belum lagi gerakan jutaan manusia dari daratan Cina ke Indonesia, baik terang-terangan maupun tak kasat mata, lewat jalan manapun.

Apakah empat contoh gejolak sosial tersebut pernah ditangkap dalam satu frame “gagap kebudayaan” (Sebagaimana Daniel Bell menyebutnya kontradiksi budaya)? Apakah negeri ini memang punya style selalu melakukan antisipasi parsial tanpa mengkaji lebih dalam dan substantif persoalan-persoalan sosial sebagai masalah kebudayaan? Sebenarnya apa yang terjadi dengan negeri ini.

Negeri ini milik bersama, umat islam harus terdepan mengajak entitas umat lain membangun kebudayaan dalam kerangka religi, bukan lainnya. Negeri harus diselamatkan lewat konsolidasi kebudayaan, kebudayaan beragama. Masih ada waktu, menjelang takdir 100 tahun munculnya tajdid (pembaharu) sebagai simbol kemenangan yang harus diraih sejak 1924 kongres Al-Islam ketiga di Surabaya, saat ini menjelang 2024 melakukan perubahan dengan mengedepankan kebudayaan dalam kerangka religiositas, kebudayaan bermarwah masjid, sedangkan pasar tetap perlu tetapi harus diletakkan di kodrat aslinya, bukan menjadi superior dibanding masjid (seperti saat ini dan telah menjadi kebenaran umum).

Kelebihan:

1).    Salah satu buku yang mencoba membincangkan peradaban dunia dan nusantara dengan kacamata analisis kritis penulis.

2). Memiliki ruang lingkup pembahasan yang cukup komprehensif dan visioner dalam membaca gejala-gejala globalisasi yang membingungkan.

3).   Terdapat beberapa tabel, diagram dan gambar ilustrasi yang secara proporsional disajikan oleh penulis di buku ini sehingga memudahkan pembaca memahaminya.

Kekurangan:

1).    Tulisan dalam buku ini tergolong lumayan berat jika dibaca oleh masyarakat awam yang semestinya ditulis juga arti kata-kata yang sukar dipahami dalam lembar glosarium.

2).  Terdapat beberapa pernyataan dari beberapa ahli yang dikutip dengan bahasa Inggris namun tidak ditulis artinya yang memudahkan pembaca untuk memahami maknanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar