[ Resensi Buku #4 ]
Negeri ini milik bersama, umat
islam harus terdepan mengajak entitas umat lain membangun kebudayaan dalam
kerangka religi, bukan lainnya. Negeri harus diselamatkan lewat konsolidasi
kebudayaan, kebudayaan beragama. Masih ada waktu, menjelang takdir 100 tahun
munculnya tajdid (pembaharu) sebagai
simbol kemenangan yang harus diraih sejak 1924 kongres Al-Islam ketiga di
Surabaya, saat ini menjelang 2024 melakukan perubahan dengan mengedepankan
kebudayaan dalam kerangka religiositas, kebudayaan bermarwah masjid, sedangkan
pasar tetap perlu tetapi harus diletakkan di kodrat aslinya, bukan menjadi
superior dibanding masjid (seperti saat ini dan telah menjadi kebenaran umum).
1). Salah satu buku yang mencoba membincangkan peradaban dunia dan nusantara dengan kacamata analisis kritis penulis.
2). Memiliki ruang lingkup pembahasan yang cukup komprehensif dan visioner dalam membaca gejala-gejala globalisasi yang membingungkan.
3). Terdapat beberapa tabel, diagram dan gambar ilustrasi yang secara proporsional disajikan oleh penulis di buku ini sehingga memudahkan pembaca memahaminya.
1). Tulisan dalam buku ini tergolong lumayan berat jika dibaca oleh masyarakat awam yang semestinya ditulis juga arti kata-kata yang sukar dipahami dalam lembar glosarium.
2). Terdapat beberapa pernyataan dari beberapa ahli yang dikutip dengan bahasa Inggris namun tidak ditulis artinya yang memudahkan pembaca untuk memahami maknanya.
Sumber Foto: Pribadi |
Judul
Buku : 2024
HIJRAH UNTUK NEGERI
Penulis : Aji Dedi Mulawarman
Penerbit : Yayasan Rumah Peneleh
Tahun
Terbit : 2016
Tebal
Halaman: 316 Hlm
Resentator : Budi
Setiawan
Sinopsis
Buku :
Berbicara masalah peradaban
merupakan kemewahan bagi masyarakat negeri ini, karena tema seperti ini memang
tak bisa dijadikan “pasar” seperti halnya berbicara masalah-masalah di luar
topik itu. Membincang peradaban juga tak hanya sekedar menelusuri sejarah tokoh
dan peristiwa-peristiwa penting pada pusat-pusat kekuasaan Yunani, Romawi,
China, India, Amerika Serikat, Amerika Selatan, Jepang, Majapahit, Perlak,
Malaka, Demak, Mataram Baru, Ternate dan Tidore, serta pusat-pusat kejayaan
lainnya saja. Membincang peradaban juga bukan hanya masalah “makan” dan
“kuasa”, ekonomi dan politik saja, dan dengan itu pula maka peradaban bisa
hancur, luluh lantak tak berkeping, hilang dari sejarah masa kini dan masa
depan seperti halnya peradaban suku Maya, Aztek, Roma dan lain-lain.
Jika standart kemakmuran suatu
negara hanya dinilai berdasarkan penerapan model institusi inklusif ekonomi dan
politik seperti yang dikemukakan oleh Acemoglu dan Robinson lalu bagaimana
dengan degradasi moral dan tingginya angka kejahatan yang justru itu ada di
negara yang katanya makmur? Memang taraf hidup di Barat meningkat
kemakmurannya, tidak di Timur, luar biasanya perkembangan sains teknologi,
jaminan pendidikan meningkat drastis. Fukuyama mengatakan sebagai simbol
kemenangan Liberalisme dan Demokrasi liberal, Barat adalah pemegang sah status sosial
manusia terakhir di muka Bumi. Tetapi, kemakmuran, sekali lagi juga dibarengi
dengan kehancuran moralitas seperti bencana kebebasan LGBT- Lesbong hombreng, meningkatnya
kejahatan, aborsi, masifikasi penggunaan narkotika, serta kejahatan-kejahatan
lainnya yang melejit melampaui dunia timur.
Tak hanya itu, institusi
inklusif ekonomi dan politik yang digadang-gadang Acemoglu dan Robinson
berbasis demokrasi liberalnya Fukuyama di Barat, diungkapkan Fukuyama sebagai
realitas paling bobrok, birokrasi sebagai simbol insitusi inklusif adalah pusat
segala kebobrokan yang menyebabkan pembusukan politik, political decay.
Secara sederhana kemakmuran
dalam benak Barat, hanyalah kemakmuran berbasis materialisme, tidak lebih.
Begitu kira-kira jika kita melihatnya hanya dalam kategori-kategori praksis
pragmatis seperti yang tengah menjadi fokus dunia Barat. Berbeda pandang dengan
penulis buku ini yang mengatakan bahwa, “kemakmuran seharusnya, adalah bagian
dari integralitas berjiwa langit untuk memberikan yang terbaik bagi umat, dan
setiap manusia maupun masyarakat di dalamnya memiliki hak, keinginan, kebersamaan
yang sebenarnya, serta kebaikan yang perlu didakwahkan kepada siapapun untuk
mencapai ummatan wahidah sekaligus wasatha. Umat yang utama, sekaligus umat
yang sejahtera seiring sejalan. Sangat disayangkan memang apabila kita sudah dipenjarakan
dalam kenyataan pikiran dan laku pragmatisme dunia, materialisme, liberalisme
dan sekularisme yang terekam di dalamnya, Deus
Absconditus, Tuhan ada, namun Tuhan dianggap sudah pensiun. Jika demikian,
sungguh itu adalah realita yang begitu menyedihkan.
Melihat kondisi umat Islam
Indonesia yang saat ini kian terpuruk dan diistilahkan oleh penulis dengan term “dramaturgi dan subhat komunal
negeri” inikah wajah kebudayaan nasional kita sekarang? Kita lihat gejolak
sosial terdahulu misalnya, aksi
berujung kematian lima orang guru (honorer) hanya karena aspirasi kesejahteraan
dan bahkan sebatas status sosial dan tak
pelak di sisi lain terjerembablah kita pada arus LGBT hasil pendidikan puluhan
tahun negeri tanpa desain jelas, sisi lainnya pula negara membuat kebijakan
antisipatif secara masif aksi terorisme. Belum lagi gerakan jutaan manusia dari
daratan Cina ke Indonesia, baik terang-terangan maupun tak kasat mata, lewat
jalan manapun.
Apakah empat contoh gejolak
sosial tersebut pernah ditangkap dalam satu frame
“gagap kebudayaan” (Sebagaimana Daniel Bell menyebutnya kontradiksi
budaya)? Apakah negeri ini memang punya style
selalu melakukan antisipasi parsial tanpa mengkaji lebih dalam dan
substantif persoalan-persoalan sosial sebagai masalah kebudayaan? Sebenarnya
apa yang terjadi dengan negeri ini.
Kelebihan:
1). Salah satu buku yang mencoba membincangkan peradaban dunia dan nusantara dengan kacamata analisis kritis penulis.
2). Memiliki ruang lingkup pembahasan yang cukup komprehensif dan visioner dalam membaca gejala-gejala globalisasi yang membingungkan.
3). Terdapat beberapa tabel, diagram dan gambar ilustrasi yang secara proporsional disajikan oleh penulis di buku ini sehingga memudahkan pembaca memahaminya.
Kekurangan:
1). Tulisan dalam buku ini tergolong lumayan berat jika dibaca oleh masyarakat awam yang semestinya ditulis juga arti kata-kata yang sukar dipahami dalam lembar glosarium.
2). Terdapat beberapa pernyataan dari beberapa ahli yang dikutip dengan bahasa Inggris namun tidak ditulis artinya yang memudahkan pembaca untuk memahami maknanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar